15: Spark Before the Fire

218 44 0
                                    

Aku berdiri kaku di sebuah ruangan tertutup, tak bisa bergerak bahkan tak bisa memutar kepalaku sendiri untuk melihat ke sekeliling. Setengah dari diriku sadar bahwa aku sedang bermimpi, setengah lainnya merasakan hawa dingin seolah angin itu nyata menyerbu tubuhku.

Tembok di sekelilingku berwarna putih dan abu—mungkin itu yang disebut dengan platinum. Ada satu ranjang yang sama dengan ranjang yang pernah aku lihat di ruang kesehatan—hanya saja yang ini lebih mewah dan bersih. Seorang gadis sedang berbaring di sana memunggungiku.

Gadis itu mengenakan gaun selutut berwarna biru terang. Rambutnya yang hitam tergerai sampai ke punggung. Kulit di punggung tangan dan kakinya pucat, sangat pucat seperti seorang mayat. Saat gema dari ketukan sepatu hak tinggi terdengar ke dalam ruangan itu..., gadis itu gemetar dan menggulung dirinya di atas tempat tidurnya.

"Waktunya untuk suntikan," ujar seorang wanita paruh baya dengan rambut pirang pendek yang menggantung di atas bahunya. Gadis itu menggeleng dan menggeram.

Wanita itu menyedot cairan dari sebuah tabung kaca kecil, lalu menyuntikkannya ke dalam selang di atas tangan si gadis. Sepuluh detik kemudian, gadis itu kejang-kejang. Ketika angin menyingkap rambut yang menutupi hampir separuh wajahnya, aku mengenalinya. Gadis itu Natalie.

Setelah wanita itu meninggalkan ruangannya, seluruh kulit pucat Natalie mengeluarkan uap dingin bahkan beberapa kepingan es melayang sampai ke depanku dan jatuh di atas kakiku yang tak beralas. Aku kedinginan—tapi aku tak bisa bergerak, berlari atau berteriak.

Natalie menjerit, jeritannya memekakan telingaku. Aku meringis, mimpi ini rasanya terlalu nyata untukku.

Aku terbangun dengan hentakan kaki yang membuat ranjangku bergetar, tubuhku berkeringat, bantalku setengah basah. Aku beringsut ke kepala ranjangku sambil menekuk lutut, mengambil napas sebanyak mungkin untuk meredakan rasa takutku. Selama satu bulan ke belakang aku hampir tidak pernah lagi terbangun karena mimpi buruk. Kelas dan jadwal latihan tambahan dari Emma yang padat membuatku terlelap lebih awal dan bangun lebih lambat. Namun akhir-akhir ini aku bermimpi lagi, dan ini bukan pertama kalinya aku memimpikan Natalie.

Melihat Natalie meninggalkan sekolah dengan kursi roda dan ekspresi kosong bagai mayat hidup hari itu membuatku seolah ditikam serangan rasa bersalah. Aku tak tahu kenapa aku harus terbangun karena merasa bertanggung jawab padanya setiap malam. Dan lagi, sosok hitam yang kulihat di tempat Natalie siang itu seolah sedang mengawasiku, entah karena paranoidku atau memang sosok hitam itu nyata. Kehadirannya selalu bisa kurasakan dengan mudah.

Anehnya, aku tak pernah menemukan keberadaanya bahkan dengan bakat penglihatanku.

Aku melatih teknik baru dengan Emma sebulan ini. Biasanya, aku harus memfokuskan pikiranku pada satu objek jika aku ingin mendapatkan visi tentang objek tersebut. Misalnya pada bendera seperti saat permainan hari itu, aku hanya melihat ke arah bendera dan mengabaikan benda lainnya. Itu membuatku memiliki banyak titik buta. Aku bahkan harus menutup mata dan kehilangan penglihatan nyataku saat aku ingin melihat sesuatu yang jauh. Hingga Emma melatihku untuk membuat kemampuanku bekerja seperti sebuah drone dengan lensa kamera 360°. Hasilnya tidak bergitu buruk.

Setelah hampir satu bulan latihan, sekarang aku bisa memproyeksikan sebuah radar di dalam kepalaku. Bentuknya seperti lingkaran di mana aku berdiri di pusat porosnya—dan aku bisa melihat semua benda mati dan hidup, menembus ruang padat dan menghilangkan batas-batas yang biasa dimiliki oleh indra manusia di dalam lingkaran itu. Jaraknya hanya 50meter ke segala sisi, lebih pendek dari kemampuanku sebelumnya namun lebih akurat.

Hanya saja—sama seperti radar pada umumnya, milikku selalu bisa menembus gelap namun tak pernah bisa menembus badai seperti malam ini. Aku benci hujan di awal musim gugur, sebenarnya aku benci musim gugur secara keseluruhan. Aku hampir mati di musim gugur. Dan sekarang, hujan derasnya membuat kesadaranku menurun yang berdampak pada menurunnya pula jarak pandangku.

The DescentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang