17: Two is Company (1)

148 38 5
                                    

Aku ingin tidur sampai pukul delapan tapi kereta dorong Samantha yang terlalu ribut lagi-lagi membangunkanku sebelum pukul enam.

Aku tak pernah bisa tidur kembali setelah terbangun, tidak meski kutahu bahwa ini hari Sabtu. Minggu lalu Ashley menawarkan diri untuk mengurus rumah kaca di belakang sekolah setiap akhir pekan. Saat aku bangun, ia sudah tak berada di atas kasurnya dan bagian sisi kamarnya sudah dirapikan. Aku hanya berdiam untuk beberapa menit yang rasanya lama di atas kasurku, berbaring telentang dengan kedua telapak tangan di atas perut, menatap kosong pada langit-langit kamarku yang putih pucat.

Aku tidak ingat kapan tepatnya aku terlelap. Saat aku tiba di kamar malam tadi, Ashley sedang tenggelam dalam buku fantasinya. Kami mengobrol cukup lama—kurang lebih dua jam—membicarakan tentang pahlawan novelnya yang seorang monster tampan nan sempurna mencintai seorang gadis biasa yang rapuh dan fana. Ironis. Setelah puas berfantasi, ia meletakkan bukunya di atas lemari berlaci di samping kasurnya dan pergi tidur.

Setelah itu yang kulakukan hanya berguling ke kanan dan ke kiri, menaik-turunkan selimutku. Aku tak bisa tidur, rasanya kemelut di dalam pikiranku yang sekarang makin rumit setelah ditambah masalah—yang sebenarnya masih tak dapat kupahami akarnya—antara: Edmund, Natalie dan over reaksi membuatku terjaga sepanjang malam.

Aku bangun dengan rasa nyeri di antara kedua pelipisku, seperti bagian tersebut sedang ditusuk dengan ujung pensil. Obat pereda nyeri yang kubawa dari rumah hanya tinggal beberapa butir lagi. Seharusnya klinik kesehatan di sekolah punya obat seperti ini juga.

Mataku menatap berkeliling ke seluruh sudut kamarku. Sebelumnya aku tak pernah sadar bahwa betapa berantakannya tempat ini sampai hari ini. Aku bangkit dengan enggan, menggulung rambutku dengan asal. Tanganku menarik selimutku dan melipatnya menjadi seukuran bantal. Kemudian aku menggulung satu-persatu sampah kertas di kaki ranjangku dan melemparkannya ke dalam tempat sampah di samping pintu kamarku.

Saat aku membuka pintu untuk membawa kantong plastik sampah keluar, sesosok menawan di depan tangga menyeringai dan melambaikan tangannya padaku. Sulit untuk mengabaikan sosok itu—atau minimal tidak menganga saat melihatnya. Edmund tengah berdiri bagai patung dewa Yunani di ujung lorong. Ia tertawa menatapku dan kemudian merengut seakan aku sudah membuatnya lama menungguku—atau memang benar begitu?

Aku menunduk dan mengabaikannya sebisaku. Setelah permintannya malam tadi, jelas ia di sini bukan datang untukku. Dengan cepat kujejalkan kantung sampah di tanganku dan kembali menuju pintu. Sial, pintu itu terblokir dengan dinding tak kasat mata—aku bahkan tak bisa meraih tuasnya.

Aku mendengus dan memutar mata di depannya. "Apa yang kau inginkan dariku?"

"Kau harusnya menyapa dahulu," ujarnya mengabaikan pertanyaanku dengan rupa yang tidak wajar, terlalu mempesona. Rambut hitamnya sedikit basah, masih berantakan seperti biasa, berantakan yang penuh gaya.

"Oh, hai," Aku mencoba menyadarkan separuh diriku yang masih merasa terkejut dengan menghela napas. "Jadi, sedang apa kau di lorong asrama perempuan pagi-pagi begini? Bahkan ini belum tepat pukul delapan."

Edmund mendekat ke arahku. Seketika wangi sampo dan sabun mandi menyeruak sampai ke hidungku. Ia berhenti di depan pintu kamarku, punggungnya bersandar pada dinding. "Apa kau mimpi buruk malam tadi?"

Andai saja pertanyaanya bermakna sama dengan apa yang ia ucapkan, mungkin aku akan menangis terharu karena seseorang terdengar sedang memperhatikanku. "Apa kau kemari untuk memastikan—apakah aku melihat Natalie lagi di dalam mimpiku atau tidak?"

The DescentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang