03: The Syntetic Phenomenom

456 68 12
                                    

Bus yang akan membawaku ke Clarksenvile, sehuah kota kecil di ujung Northside tempat sekolah dan asrama para siswa baru berada sudah terparkir saat aku tiba di gedung pemerintahan. Untungnya, Chevy Orlando milik Robert hari ini bisa diandalkan. Biasanya mobil tua itu selalu malas menyala jika dipakai di pagi hari. Aku tidak mengerti kenapa ia masih belum mengganti mobil itu ketika gajinya perbulan sudah menyentuh dua digit angka.

Aku mewawancarai Robert beberapa hari yang lalu, menanyakan apakah ia yang meminta dua orang itu untuk merekrutku. Mungkin saja Robby kasihan melihatku dan Susan. Tapi Rob langsung menyangkalnya. Katanya, sekolah itu hanya menyaring orang-orang yang memang berbakat, tidak menerima jalur belakang. Dia hanya tahu bahwa aku mungkin memiliki bakat yang mereka katakan itu. Namun saat kutanya seperti apa bakat yang mereka maksud, yang dikatakannya hanya: "kau yang bisa memastikannya sendiri".

Aku berjongkok di hadapan Susan, menyejajarkan tinggiku dengan tubuhnya. Sedangkan Robert berdiri di belakangnya. Hal yang paling membuatku nyaman adalah membenamkan wajahku di antara pangkuan Susan, seperti yang aku lakukan saat ini. Rasanya kepalaku tidak ingin aku angkat lagi.

Beberapa hari yang lalu semuanya serasa tidak nyata, bagiku bisa lolos dan mendapat satu sekolah dengan kondisiku bagaikan sebuah hal yang mustahil. Bahkan setelah aku di sini hari ini, aku tidak tahu apakah yang sedang aku lakukan adalah sungguhan atau tidak.

"Ayo berdiri," Susan mengangkat kepalaku dari pangkuannya. Menempatkan kedua telapak tangannya di antara pipi-pipiku. "Kau harus segera berangkat."

Aku memggelengkan kepalaku, kemudian beralih menatap jauh ke arah barisan di depan bus, menghirup banyak-banyak udara sampai paru-paruku terasa penuh. Hari ini pertama kalinya sejak enam belas tahun aku akan meninggalkan rumah. Terlebih untuk waktu yang cukup lama. Tentu saja aku tidak mungkin langsung siap.

"Perasaanku tidak enak, biarkan aku memelukmu sebentar lagi."

"Kau hanya gugup." Susan tersenyum, menepuk-nepuk punggungku. "Tidak apa-apa, kau pasti punya banyak teman nanti."

"Bus akan berangkat sepuluh menit lagi," ujar seorang senior laki-laki yang melompat keluar dari dalam bus. Suara lantangnya memaksaku melepaskan pelukan Susan.

"Hati-hati di sana nanti," ujar Susan keseribu kali untuk terakhir kalinya.

"Kau harus mengurus dirimu sendiri, aku percaya kau bisa melakukannya," tambah Robbert.

Aku menatap mereka sejenak. Kupikir Susan tak pernah berat melepaskanku, tapi setelah mendengar suaranya yang mulai bergetar seolah menahan tangis, aku yakin dia juga kesulitan.

Susan memberiku pelukan terakhirnya dan Robert menepuk kepalaku dua kali sebelum aku berjalan menuju bus kelabu-canggih di hadapanku. Ini pertama kalinya aku melihat bus seperti itu. Saat aku menyentuhkan chip kuning dari kartu yang diberikan Drew beberapa waktu lalu, seketika pintu menyala dan memunculkan sebuah layar hitam dengan beberapa garis biru—kemudian sebuah cahaya biru muncul dan memindai wajahku.

Hanya butuh dua detik hingga tulisan "tervalidasi: Clary Hart" muncul bersama dengan fotoku yang aku gunakan untuk pas foto kartu identitas di dompetku.

Saat aku memandang ke luar jendela dan menemukan Robert memangku Susan masuk ke dalam mobilnya, seketika tekanan di dadaku mulai berubah menjadi ringan. Cara Robert menatapnya, mengamatinya dan tersenyum padanya membuatku lebih lega. Susan tidak akan kesepian di rumah.

Orang-orang di belakangku terus mendorongku maju hingga aku sampai di ujung belakang bus. Ada dua kursi di sana, salah satunya sudah diisi oleh pemuda dengan tudung hitam.

"Apa kursi ini kosong?" Aku merasa konyol setelah bertanya, tentu saja siapa pun bisa melihat jika kursi itu benar-benar kosong.

"Seperti yang kau lihat," ketusnya. Pemuda di sampingku menarik tudung hitamnya lalu memalingkan wajahnya ke arah lain setelah aku duduk di sampingnya.

The DescentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang