08: Feels Like Nostalgia

283 56 3
                                    

Aku pikir rasa sakit di kepalaku akan hilang jika aku berada di rumah penuh orang yang sama gilanya denganku. Kenyataannya, hanya berdiam di sini tidak membuatku sembuh dari penyakit yang Demi Tuhan sangat menggangguku.

Aku melihat diriku gemetaran, memeluk lutut di dalam kegelapan dalam mimpiku. Aku tidak tahu kenapa mimpi itu masih menimbulkan efek ketakutan dan rasa sakit yang sama padaku. Harusnya aku terbiasa karenanya, aku sudah melewatinya cukup lama. Hampir ribuan kali setelah aku hidup kembali.

Aku terbangun dengan sebuah garis merah di tengah dahiku. Latihan tambahan setiap sore dengan Emma dan Ashley membuatku kelelahan dan tanpa sadar aku tertidur dengan kepala membentur meja kamarku—hingga dahiku membentuk garis lurus mengikuti bentuk ujung kayunya.

Aku meraih obat-obat di dalam tasku. Obat-obat itu tidak mungkin lolos hanya dengan air liurku saja, dan entah sial yang keberapa lagi sampai aku muak menghitungnya, botol minumku sudah benar-benar kering sejak terakhir aku mengisinya siang tadi.

Saat aku membuka pintu kamarku, kegelapan dan rasa mencekam langsung menyergapiku. Aku benci suasana sunyi—hal itu selalu memancing kepekaan indraku menjadi semakin tajam.

Tempat penyimpanan air berada di ujung lorong dari setiap lantai, tepat berada di tengah antara lift dan tangga. Aku menyeret kakiku dengan paksa menyusuri lorong, tanganku menggenggam erat susuran di dinding mencoba menopang bobot tubuhku agar tidak membuat suara langkah yang ribut karena kelimbunganku.

Aku bisa merasakannya, merasakan setiap individu dari balik tembok kamar yang aku lewati—lalu menebak apa yang sedang mereka lakukan. Kebanyakan dari mereka tertidur, tidak ada tanda-tanda kehidupan. Kecuali di kamar ketiga dari kamarku, seseorang masih terjaga. Natalie duduk di bingkai jendela kamarnya. Kami semua di sini mengenalnya, ia cukup tersohor karena kinesisnya setara seperti Lee atau Edmund.

Aku mengerjap, menggelengkan kepalaku, mencoba mengeluarkanku dari semua penglihatan itu.

Langkahku terhenti saat perasaanku mengatakan seseorang sedang mendekat dari bawah tangga. Sepuluh detik, dua puluh detik, kuamati ujung tangga itu, tapi anehnya tidak ada suara langkah atau bahkan embusan napas sedikit pun yang biasanya bisa aku rasakan. Sampai sekonyong-konyong sebuah sosok muncul membuatku melompat. Tanganku bergetar hingga botol minum yang sedari tadi aku genggam terlepas begitu saja.

"Apa yang kau—?" Ia menjeda pertanyaannya setelah melihatku hampir memekik. Aku tidak yakin itu sebuah pertanyaan atau teguran, suaranya berbisik dan tidak terdengar jelas. Yang lebih mengalihkan perhatianku adalah karena: cowok di depanku tidak memiliki jejak kehadiran, tanpa langkah berat. Seperti embusan angin, ringan namun kemunculannya bertenaga.

Itu Ben, aku masih ingat wajahnya. Ia muncul dari bawah tangga, lift berhenti beroperasi setelah pukul sepuluh malam. Kemudian ketika ia hampir mendekat ke arahku, sebuah tornado kecil menopang botol minumku dan membuatnya melayang kembali ke tanganku.

Dia mematung di depanku, mulutnya terbuka seolah yang ia lihat bukan manusia.

"Kau—" ujarnya mengerut dahi.

"Aku..." Aku menelan ludah, tornado kecil yang datang padaku masih membuat tenggorokanku kering karena menganga. "Aku Clary Hart. Siswa baru di sini."

"Clary?" ulangnya memastikan.

Aku tidak tahu apa alasan dari kerutan di dahinya, tapi aku mengangguk.

"Apa aku membuat suara ribut dan membangunkanmu?"

"Tidak," balasnya. "Aku baru tiba di asrama."

"Kau baru pulang?" Oh, aku tak seharusnya bertanya seperti itu, kan? Apa dia akan menganggapku tidak sopan? Gates mengatakan bahwa Ben akhir-akhir ini mengambil tugas di luar, aku hanya penasaran pekerjaan apa yang membuatnya pulang selarut ini.

The DescentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang