25: Falling in Reverse

197 30 6
                                    

Untuk pertama kalinya dalam hidupku aku merasa sangat normal. Tidak ada lagi tusukan di kepalaku atau mimpi buruk yang membangunkanku seperti malam-malam sebelumnya. Edmund juga tidak lagi datang tiba-tiba ke kamarku atau mencoba duduk di sebelahku seperti yang biasa dia lakukan hampir setiap hari dan di setiap kelas. Tidak ada lagi pertanyaan soal Natalie, tidak juga tentang hal membimbangkan lainnya.

Pada satu waktu aku merasa lega, seolah beban yang ditumpukkannya di pundakku kemarin sudah ia bawa kembali. Pada waktu yang lain, aku merasa sedikit kesepian—hanya sedikit.

Hal baik lainnya, sekarang aku sudah bisa mengendalikan kinesisku. Meski masih pada tingkat yang lebih rendah dari para amatir, tapi kurasa itu bukan pencapaian yang buruk. Namun tentu saja, hidup selalu menyisakan satu kekurangan seolah dunia tak boleh menjadi tempat yang sempurna. Sekarang aku kehilangan ekstra sensoriku.

Aku berdiri di depan cermin kamar mandi. Uap yang berasal dari air panas membuat cermin itu terlihat buram dan tak lagi memantulkan bayanganku. Pemandangan itu sama persis dengan apa yang aku lihat sekarang saat aku berusaha menggunakan clarivoyantku.

Aku masih bisa menebak berapa orang yang sedang berdiri di balik bilik kamar mandiku, aku masih bisa merasakannya saat seseorang berjalan mendekatiku. Secara teknis itu karena setiap mahluk hidup punya hawa keberadaan yang bisa aku rasakan dengan jelas. Hanya saja, penglihatanku tidak lagi menembus ini dan itu. Sekarang semuanya gelap saat aku menutup mataku.

Aku memang sudah sering mengatakan bahwa aku ingin melenyapkan clarivoyantku itu, tapi dari sekian banyak pilihan waktu, bakat itu memilih untuk menghilang minggu ini. Ini adalah minggu terakhir di bulan Oktober—yang artinya, siang nanti tes bulanan akan dilakukan.

Aku duduk di kursi sebelah jendelaku dengan handuk masih terlilit di atas kepalaku, berkali-kali mendengus frustrasi. Ashley masih berbaring di ranjangnya. Dia tidur nyenyak seperti biasa, tes apa pun tidak pernah mengganggunya.

"Kau kenapa?" tanya Ashley berguling di atas kasurnya kemudian berhenti menghadap ke arahku. "Kepalamu sakit lagi?"

Aku mengikuti gerakan kepala Ashley, dia menunjuk jemariku yang tanpa sadar sedang memijat pelipisku dengan tatapannya.

"Aku tidak sedang sakit kepala. Aku hanya sedang berpikir, apa normal jika kau kehilangan ekstra sensorimu?"

"Ekstra sensori tidak mungkin hilang," balas Ashley santai sembari menguap.

"Aku tahu," balasku mendesah, menurunkan tanganku dan menautkan jemarinya di atas paha. "Tapi kenyataannya—sekarang aku tak bisa menggunakan clarivoyantku lagi."

Ashley mengernyit. "Apa kau demam?"

Aku menyentuh dahi dengan punggung lenganku dan menggeleng, suhunya senormal biasanya.

"Apa kau baru mengkonsumsi obat tidur?" lanjutnya bertanya, kali ini terdengar sedikit panik. "Aku baru sadar kau tidak lagi berteriak saat tidur."

Lagi-lagi aku menggeleng, kali ini sebanyak dua kali dengan tegas. "Aku tidak sedang demam, dan aku tidak minum obat apa pun lagi."

Aku tahu kenapa dia bertanya seperti itu. Bukan hanya kinesis yang menjadi tak terkendali saat penggunanya kehilangan kesadaran. Ekstra sensori juga menjadi tak berguna saat kesadaran penggunanya menurun. Saat itu terjadi, mereka tak akan bisa membedakan mana yang nyata dan mana yang halusinasi. Biasanya halusinasi bagi siswa seperti kami hanya terjadi saat kami demam atau terlalu banyak minum obat tidur.

Ashley bangkit dari kasurnya dan menyandarkan punggungnya di tembok. Mendadak cengiran lega tersungging di wajahnya saat memandangiku. "Apa kau sedang jatuh cinta?"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 12 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

The DescentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang