Pagi tadi saat aku melewati koridor depan menuju basement tempat bus sekolah terparkir, aku tidak sengaja mengintip ke dalam ruang pertemuan. Hari ini hari libur, tapi aku melihat kerumunan di ruangan itu. Ada monitor besar di sana yang sedang menunjukkan gambar dari sebuah hutan. Tepat di depan monitor, para tutor dan senior nampak serius berdiskusi.
Setelah 30 menit bus meninggalkan sekolah ke arah barat, aku langsung tahu apa pun permainan yang akan kami mainkan tidak mungkin mudah. Hutan yang aku lihat di ruangan pertemuan sama persis dengan yang sedang berada di hadapanku saat ini.
Mereka di sana mengawasi kami. Entah untuk menilai atau hanya menonton, apa pun itu sesuatu yang menarik akan terjadi.
Enam kelompok sudah berkumpul di tanah lapang, di depan jalur masuk hutan. Hari ini langit cukup cerah mengingat hanya sedikit awan yang berkumpul di atas kepala kami, membuat udara semakin panas dan lembab.
"Merapat ke depanku dan buat enam barisan!" James berseru. Kami semua segera mengikutinya.
Ada tiga belas senior lain berbaris dibelakangnya siang ini. Tidak ada Ben mau pun Emma—para senior yang kukenal—namun, Gates yang tidak pernah absen terlihat sedang memangku tangan di dadanya. Aku ingat bagaimana ia mempermalukanku di kelas pertama, gejolak amarah tiba-tiba kembali melanda dadaku.
Di sampingku, berdiri dengan malas bagai menara yang condong dan hampir runtuh—Edmund, sedang menatap jauh ke arah hutan. Ashley dan Kelly di depannya saling mengobrol dengan akrab, sangat akrab. Aku tidak percaya bagaimana suasana hatinya bisa berubah dengan sangat cepat, padahal satu jam yang lalu ia masih menatap sinis gadis di depannya itu.
Orang-orang yang berada di barisan depan adalah ketua kelompok, kami memilihnya dalam perjalanan. James memberikan sebuah lambaian tangan memerintah setiap ketua untuk maju.
Darius yang memimpin kelompok satu. Seorang cowok bertampang imut bernama Alex yang memimpin kelompok dua, tentu saja Edmund tidak akan mau mengambil inisiatif. Luke memimpin kelompok tiga, kelompokku. Natahlie satu-satunya cewek yang maju sebagai pemimpin di kelompok empat. Ia mungkin terlihat tidak terlalu kuat, kurus dan tidak terlalu tinggi, namun tatapannya terlihat lebih berani—daripada Lee yang bersamanya namun tidak menampilkan kesan antusias maupun semangat sedikit pun. Cowok berkulit gelap dengan rambut sedikit ikal, Jacques memimpin kelompok lima. Salah satu dari kembar Smith, Mason memimpin kelompok enam. Kembarannya, Madison bersama Darius di kelompok satu.
Aku tidak berusaha mencuri dengar percakapan James di depan, toh Luke pasti akan menjelaskannya nanti padaku. Tatapanku terfokus pada jalur-jalur kecil di depan hutan. Kutatap salah satu jalur yang berada tepat di hadapanku, berharap menemukan sesuatu yang bisa membantuku nanti di dalam permainan entah apapun itu. Sejauh mata memandang, yang kulihat hanya: pohon, pohon, pohon lainnya, sebuah genangan yang mengering dan lumut.
"Kita akan bermain di sana?" Aku bertanya pada siapa pun di dalam kelompokku tanpa memalingkan pandangan.
"I-itu cukup menyeramkan," Herb menyahut, kacamatanya berembun oleh keringat.
"Hutan itu?" Olivia mengikuti arah pandangku, lalu kepalanya terangkat. "Apa itu...?" Matanya memicing. "Sebuah kamera?"
Sudah kuduga, kami memang sedang ditonton.
"Kau harus tenang, Herb," lanjut Olivia. "Ada kamera di seluruh tempat ini. Artinya; kita cukup aman untuk berkeliaran."
"Tenang Herb, ini hanya permainan," Luke kembali ke dalam barisan seraya tersenyum.
"Ha ha, benar," Herb pura-pura tertawa, jelas ada sisa kekhawatiran dalam tawanya. "Kau lupa Claire patah tulang dan Edmund mendapatkan dua jahitan di tangannya hanya karena permainan konyol Gates di kelas, dan sekarang entah apa yang akan terjadi pada kita di luar ruangan. Para senior itu akan membiarkan kita terluka atau saling melukai seperti itu juga."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Descent
Science FictionClary Hart, gadis 16 tahun yang kehilangan ingatannya setelah mengalami kecelakaan misterius mengikuti tes sekolah lanjutan yang diselenggarakan pemerintah. Saat ia merasa gagal dan putus asa karena kondisi mental pasca traumanya, tanpa diduga-duga...