02: Reliance

626 74 10
                                    

Kupikir aku sudah mati. Namun kata Susan, orang yang mati tidak tidur dan tidak bermimpi. Untungnya aku bermimpi aneh. Aku memimpikan pemuda tinggi bermata biru lautan yang sebelumnya kulihat saat tes medis siang tadi.

Beberapa potongan gambarnya masih melekat di kepalaku. Saat itu langit tertutup awan yang sangat gelap hingga pohon mapel yang semula berdaun hijau kekuningan di musim gugur berubah menjadi hijau tua mendekati hitam mengerikan seperti sebentar lagi akan mati.

Aku terbaring sekarat di atas rumput basah, mencoba beringsut sebisaku dengan pakaian kusam bernoda darah bercampur lumpur. Darah yang mengalir di bawah kepalaku membuat rambutku gimbal. Si pemuda bermata biru laut itu di sana, berlari meninggalkanku.

"Clary?"

Samar-samar suara perempuan terdengar hingga membuatku mengerjap. Kali ini bukan dalam mimpiku tapi sungguh-sungguh masuk ke telinga kiriku. Kumiringkan kepalaku ke arah sumber suara. Mata Susan berjalan liar mencari mataku yang masih kehilangan fokus. Genggaman tangannya berkeringat, membuat tanganku ikut basah.

"Kau sudah bangun?" Susan menatapku dengan kedua ujung matanya yang sayu. Kulit pucatnya hari ini terlihat lebih pucat dari biasanya.

Napasku terlalu cepat untuk mengatakan sesuatu namun aku mengangguk.

Aku mencoba menegakkan tubuhku. Keringat mengucur dari dahi melewati pelipis kanan dan kiriku. Langit-langit di atas kepalaku rasanya masih berputar tak beraturan. Warna ungu dan putih di sampingku membuatku akrab dengan tempat ini. Bau lavender yang biasa kugunakan sebagai aroma penenang tercium sangat pekat, sangat jelas memberitahuku bahwa aku sudah berada di dalam rumah. Namun sejak kapan?

Cahaya temaram sedikit kekuningan yang menembus tirai kamarku berhasil menyadarkanku, matahari pasti baru terbenam. Sepertinya aku sudah pingsan dua jam sejak siang hingga sore ini.

"Robby membopongmu pulang kemarin," ujar Susan dengan nada paniknya yang khas.

Sebentar..., bukan tadi—tapi kemarin? Susan menggeser tirai di seberang ranjangku, cahaya kekuningan yang sebelumnya kulihat berasal dari arah timur. Matahari tidak sedang terbenam, namun baru saja muncul.

Bukan dua-tiga jam, tapi satu hari. Rasa sakit sialan itu berhasil menidurkanku selama seharian penuh. Aku baru sadar kalau pakaianku sudah berubah, tidak ada noda dan bau muntahan lagi. Tiba-tiba aku mengkhawatirkan nasib jas putis Elizabeth yang kumuntahi kemarin. Aku bergidik dan memejamkan mataku. Sulit rasanya menghilangkan bayangan memalukan sekaligus menyesakkan tempo hari.

"Apa sakit kepalamu kambuh lagi?" Susan memutar tuas kursi rodanya untuk mendekat setelah aku mencoba turun dari ranjangku.

Aku berdeham. "Hanya kambuh sebentar."

"Bagaimana sekarang?" tanyanya penasaran.

Aku mengangguk dan menggigit bibir bawahku, mencoba menyembunyikan nyeri tumpul yang masih enggan hilang dari kepalaku. Biasanya rasa sakit ini selalu selesai dengan cepat setelah dua butir pil pereda nyeri masuk ke perutku, atau setelah aku tertidur. Namun sakit kali ini lebih kuat dari biasanya.

"Kau yakin kau baik-baik saja?" Dahi Susan berkerut membuat alis-alisnya saling bertautan.

"Tentu," aku berkata lembut. "Aku baik-baik saja."

The DescentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang