Lima menit setelah mereka mengikutiku berjalan ke arah Barat. Kami masih belum menemukan sesuatu. Aku mulai kehilangan kepercayaan diriku pada kemampuanku yang makin terasa seperti omong kosong.
Cuaca berubah menjadi dingin. Matahari tidak cukup kuat untuk menerobos masuk melewati celah pohon di atas kepala kami berempat. Begitu pula tatapan Herb kepadaku, dingin, penuh kecurigaan dan ketidakyakinnan.
"Apa kita tidak berjalan terlalu jauh ke dalam hutan?" Herb bertanya. Aku mengerti kegelisahannya. Makin jauh artinya, makin susah juga untuk kembali.
Pohon-pohon di sekitar kami berukuran lebih besar dari pohon lain sebelumnya di mulut hutan. Makin jauh ke dalam, makin gelap dan makin bau basah. Sejauh yang kurasakan tidak ada gerakan lain, tidak ada bunyi langkah lain di sekitar ini, hanya ada kami berempat.
"Kita ikuti jalur ini," kata Luke lirih, sehingga seakan hanya dia yang bisa mendengarnya.
Luke berjalan di belakangku, mengamati situasi sekitar dengan saksama—mengambil posisi siaga barangkali seseorang atau sesuatu sudah bersiap untuk menyergap. Olivia tidak protes, sangat aneh. Ia memanjat pohon tanpa kesulitan dengan sangat sunyi, seperti kakinya menempel pada batang pohon, seperti ia menolak gravitasi, begitu ringan bagai seekor rubah kecil.
Manipulasi gerakan miliknya, aku lebih melihatnya seperti kombinasi dari gerakan senam akrobatik dan parkour. Dia bisa melakukan gerakan pada dua cabang keahlian itu dengan sangat apik. Bahkan lebih baik dari seluruh atlet dalam cabang olahraga tersebut.
"Kita mungkin akan tersesat jika kita—"
"Claire," Olivia memotong perkataan Herb dan berhenti melompat.
Aku mengangkat kepala lalu bertanya, "kau juga mendengarnya, kan?"
"Ya," katanya. Olivia sedari tadi berada di atas pohon, pendengarannya diuntungkan oleh hal itu.
Aku mendengar suara air mengalir dengan pelan dan tenang. Saat langkah teman-temanku berhenti dan suara ketukan sepatu kami sudah tidak ada lagi, aliran air itu makin terdengar lebih kuat bagai gemuruh.
Saat kami melewati tikungan yang tertutup deretan pohon beech, aku dapat melihat bendera kuning itu sedang melambai dari kejauhan. Terang, lebih terang dari semua benda yang cenderung berwarna hijau lumut di tempat kami.
"Luke!!" Aku berseru.
"Akan kulakukan," balasnya. Luke berjalan melompati genangan demi genangan dengan tubuh raksasanya.
Aku mengerti kenapa sebelumnya mereka tidak bisa mendengar gemercik air di sekitar sini, karena memang tidak ada sungai. Aliran air yang sebelumnya mampir di dalam pikiranku hanyalah sebuah cabang air—hanya anak sungai. Bunyi gemerciknya terlalu pelan untuk indra manusia pada umumnya, andai saja aku tidak bisa merasakannya atau andai Olivia tidak berjalan di atas kami, maka kami tidak akan menemukannya.
"Satu bendera kuning," ujar Luke dengan kaki yang sudah basah sampai ke lutut. "Setelah tiga puluh menit."
Saat bendera kuning terlepas dari ikatannya, notifikasi baru muncul ke dalam smartwatch kami. "Kelompok tiga berhasil menemukan satu bendera kuning". Saat kami menggeser notifikasi lain di atasnya, kelompok satu sudah punya tiga bendera: dua merah, satu kuning. Kelompok dua sudah berhasil mengumpulkan dua bendera: satu kuning, satu merah. Kelompok tiga: hanya kuning. Kelompok empat yang semula sudah mengoleksi satu bendera hijau dan satu merah kehilangan bendera merahnya. Kelompok lima mengumpulkan: satu kuning, dan satu merah. Kelompok terakhir: punya dua bendera hijau.
Maka, di dalam hutan tersisa satu bendera merah dan dua bendera hijau yang masih bebas. Kami tidak perlu bertarung untuk merebut bendera andai kami bisa mengambilnya lebih dulu.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Descent
Science FictionClary Hart, gadis 16 tahun yang kehilangan ingatannya setelah mengalami kecelakaan misterius mengikuti tes sekolah lanjutan yang diselenggarakan pemerintah. Saat ia merasa gagal dan putus asa karena kondisi mental pasca traumanya, tanpa diduga-duga...