Saat kami tiba di Clarksenville, aku masih belum mengerti dengan apa yang akan kulakukan di tempat asing ini. Jika aku bisa, sungguh aku ingin pulang kembali. Kenyataannya saat ini aku terjebak sejauh ratusan kilo meter dari rumah, lebih-lebih matahari sudah terbenam sejak tiga jam yang lalu.
Tidak ada jalanan layak yang bisa dilewati kendaraan umum maupun pribadi di sekitar tempat ini, tidak ada satu pun halte. Sepanjang mata memandang, hanya ada tanah kosong dan hutan gelap. Angin malam membawa udara dingin hingga menusuk tulang-tulangku. Ben membawa kami melewati sebuah pintu otomatis. Dari dalam, gedung ini terlihat seperti sekolah modern dengan banyak fasilitas alih-alih seperti sebuah asrama pelatihan.
Kami berada di gedung utama, namun masih belum berhenti berjalan sampai tiba di aula. Aku berusaha melepaskan diri dari Darius di belakangku sejauh mungkin dan mencoba menempel dengan si netra biru di depanku.
"Sekolah apa ini sebenarnya?"
"Sekolah untuk orang-orang yang katanya berbakat," Si netra biru terus berjalan tanpa melihat ke arahku. Ia menekan kata 'katanya' seolah itu sebuah ejekan.
Percakapan kami menghilang saat pintu besar aula terbuka dari dalam. Setidaknya ada puluhan pasang mata yang sudah menunggu kami semua. Setiap orang berbisik-bisik, berusaha menebak apa yang bisa kami lakukan. Apa yang bisa kulakukan?
Kami berbaris di tengah aula. Ben naik ke atas sebuah panggung permanen kecil diikuti beberapa senior lainnya. Ada Emma dan Drew juga—dua orang yang merekrutku—di sana. Seketika kebisingan tadi berhenti setelah seorang pria tua bersama pengawal pribadinya ikut naik ke atas panggung.
Aku kenal pria yang umurnya sudah melewati setengah abad itu. Semua orang di ruangan ini pasti juga mengenalnya. Dia adalah Mr. Vander, komandan tertinggi dari pasukan keamanan. Penampilannya biasa, mengenakan jas hitam dengan kemeja putih. Dasinya bermotif garis biru. Sekilas tidak ada yang berbeda dengan orang tua lainnya, namun jika kauamati lebih lama, badannya masih tegap dan kondisinya prima untuk pria berumur di atas tujuh puluhan.
"Selamat sore para calon anggota Esper," sapaan Mr. Vander terdengar jelas ke arahku meski tanpa pengeras suara. "Selamat bergabung dengan pelatihan kami. Program pelatihan ini sudah berjalan selama hampir dua puluh tahun, dan saya merasa bangga menjadi bagian dari sekolah bakat yang akan kalian ikuti ini."
Lagi-lagi kata Esper itu disebut.
Mr. Vander berjalan ke kanan dan ke kiri. Ia menarik bibirnya untuk tersenyum lalu matanya berkeliling menatap kami satu persatu. "Saya sangat tidak sabar menantikan bakat unik apa yang akan kita dapatkan pada tahun ini."
Aku bergidik untuk dua hal. Pertama, aku tidak bisa membayangkan bakat apa yang mereka kira aku miliki. Entah bagaimana nasibku mulai hari ini setelah mereka mengetahui bahwa aku tidak memiliki bakat apa pun. Kedua, caranya bicara tentang 'mendapatkan kami' rasanya terdengar seolah-olah kami sebuah aset, bukan seorang siswa.
Pria tua itu menutup sambutan lima belas menitnya dengan kalimat terakhir: masa depan yang baik akan segera datang. Lalu seluruh isi ruangan bertepuk tangan.
Setelah Mr. Vander meninggalkan aula, seorang
senior lainnya yang terlihat lebih tua dari usia seharusnya mengambil alih tempat itu. Wajahnya terlihat tegas dengan rambut di sekitar tulang pipi dan rahangnya. Rambutnya ikal-pendek dan warna kulitnya kecoklatan. Orang itu memiliki badan yang lebih besar dan kekar dari senior lainnya, namun tidak lebih tinggi dari Drew dan Ben."Untuk selanjutnya, saya James—pemimin seluruh siswa pelatihan di sini—yang akan mengambil alih." Suara parau dan berat dari pria berdarah latin itu terdengar cukup tegas membuat semua orang yang awalnya bergumam mendadak terdiam.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Descent
Science FictionClary Hart, gadis 16 tahun yang kehilangan ingatannya setelah mengalami kecelakaan misterius mengikuti tes sekolah lanjutan yang diselenggarakan pemerintah. Saat ia merasa gagal dan putus asa karena kondisi mental pasca traumanya, tanpa diduga-duga...