10: Calm Before The Strom

230 53 0
                                    

Aku merangkak ke pintu dan membuka kuncinya saat sebuah kereta dorong berhenti dengan suara keras di depan kamarku. Wanita tua dari penatu di lantai atas mengirimkan dua kantung seragam baru untukku dan Ashley. Isinya sama setiap kantung: sepotong celana legging ketat berwarna hitam, jaket olahraga berwarna abu dengan logo burung hantu khas sekolah ini dan sebuah kaos hitam tanpa lengan.

Sebuah pengumuman terdengar sekitar satu jam kemudian setelah kereta pakaian datang. Suara melengking dari atas pengeras suara itu mengatakan bahwa: kami harus segera bersiap untuk sebuah perjalanan. Aku tidak terlalu terkejut setelah Ben memberikan petunjuk tentang tes kali ini tempo hari. Hanya saja, baik sumber suara itu mau pun Ben sama-sama tidak menjelaskan ke mana kami akan pergi, atau apa yang akan kami lakukan nantinya.

Sudah cukup lama aku tinggal di sini, tapi sama sekali tidak ada yang berubah dengan diriku selain paranoidku yang semakin menjadi-jadi. Bahkan jika sakit kepalaku tidak membangunkanku, malam lainnya aku akan tetap terbangun dan mengecek beberapa kali ke arah luar jendela. Entah aku menganggap semua orang adalah ancaman, atau... otakku masih menyimpulkan jika tempat ini masih terlalu berbahaya bagiku.

Bahkan sekarang, saat matahari sudah mulai naik di belakang punggungku. Aku masih mengamati semak belukar dari balik jendela, menatap jauh ke dalam tanah kosong sampai ke hutan. Aku tidak mengerti kenapa aku seaneh ini, hari pertama dan kedua setidaknya aku masih bisa tidur—meski tidak sangat nyenyak. Sekarang rasanya sesuatu terus menerus menggangguku.

"Wow, Clary!" Ashley mengagetkanku dengan nada dramatis, dia hampir menganga menatap cermin yang memantulkan diriku. Kemudian ia berdecak dengan tangan di pinggangnya. "Badanmu bagus juga."

"Apakah cocok denganku?" aku bertanya malu-malu. "Sepertinya aku suka seragam ini."

Ashley mengangguk, kemudian merengut. "Aku tidak suka warnanya."

Untuk pertama kalinya seragam yang disediakan sebuah instansi pas di tubuhku. Di sekolahku sebelumnya, yang kuterima selalu terlalu pendek untuk kakiku tapi selalu lebih lebar dari badanku. Yang ini berbeda, celana legging hitam itu menempel ketat di kakiku namun masih membuatku nyaman bergerak. Tingginya pas, jatuh sampai ke bawah mata kaki.

Beberapa saat kuamati tubuhku di depan cermin. Kaus hitam tanpa lengan itu melekat cocok mengikuti setiap lekukannya. Sebelumnya aku tidak pernah punya pakaian dengan model begini. Lebih dari separuh pakaianku adalah milik Susan juga. Rata-rata modelnya berupa terusan dengan motif bunga kecil, rok berpotongan A atau celana jeans belel longgar dan kaus warna terang dengan lengan panjang. Hari ini senyumku melengkung, terbersit sedikit kekaguman pada tubuhku sendiri yang menampilkan lekuk sempurna.

Baru hari ini aku sadar, tubuhku cukup padat untuk seseorang yang sering dihadang masalah kelaparan. Sedangkan Susan kurus sendiri, sangat kurus hingga tulang belikatnya terlihat sangat menonjol. Seketika kupasang jaket abu-abuku, kunaikkan resletingnya sampai menutupi dada. Rasa bersalah pada kakakku membuat dadaku mendadak sesak.

"Kau melamunkan apa?" Ashley yang sedang mengepang rambut merah jahenya bertanya tanpa merubah posisi duduknya di depan cermin.

"Hanya sedang penasaran dengan apa yang kakakku lakukan pagi ini." Aku berdiri di belakangnya lalu membantu mengikatkan karet ke ujung rambutnya.

"Kau rindu kakakmu?" tanyanya lagi. Kepangan klasiknya selesai, ia menempatkan seluruh rambut terikat itu ke salah satu bahunya.

The DescentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang