Memar tulang di bahuku sudah tidak lagi menyebabkan denyutan berkat dua butir obat pereda nyeri. Kantung es di bahuku juga sudah tidak lagi dingin, namun napasku masih memburu dan tanganku tak henti mengepal. Rasa marahku pada Darius, Lee dan Gates masih mengalir deras di setiap inci aliran darahku.
Setelah kelas selesai Ashley membawaku ke ruang kesehatan. Seorang dokter muda wanita beberapa waktu yang lalu menyuruhku berbaring sampai reaksi dari obatnya bekerja. Kasur di ruang kesehatan memang keras, namun cukup nyaman. Tempat ini tidak berbau karbol seperti yang biasa aku cium di ruang kesehatan.
Entah kapan tepatnya aku tertidur. Setelah aku bangun, Ashley sudah tidak lagi bersamaku.
Kilasan gerakan di luar tirai yang mengelilingi ranjangku membuatku menegakkan tubuh, seseorang baru saja keluar dari tempatku. Aku duduk bersandar di kepala ranjang dengan waspada. Aku benci perasaan was-was yang selalu kurasakkan saat aku sendirian. Semenit kuamati, tidak ada gerakkan lain di sana. Lalu saat aku hendak berlari meninggalkan ruangan ini, Ashley datang bersama Emma.
"Kau sudah baikan?" tanyanya tanpa rasa bersalah setelah meninggalkanku.
Aku mengangguk. "Kau dari mana saja?"
"Aku membawa seseorang yang kuceritakan semalam," jawabnya. Aku ingat ia ingin mengenalkanku pada orang yang menurutnya bisa membantuku menelusuri bakatku. Sama sekali tidak terpikirkan olehku bahwa orang itu adalah Emma.
Emma duduk di kursi samping—dua langkah dari ranjangku. Rambutnya yang sebahu kali ini di kuncir tinggi. Jika ia sama seniornya dengan Ben, mungkin usianya satu-dua tahun di atasku. Dia mengangguk lembut dan memberiku senyuman kecil untuk menyapaku.
"Kita bertemu lagi," katanya. Padahal baru beberapa hari sejak Emma terakhir menjemputku dari rumah. Namun rasanya ini sudah cukup lama. "Kudengar Gates bersenang-senang di kelas Ben hari ini."
Aku menghela napas dalam. "Itu pasti sangat menyenangkan untuk mereka."
Bahuku berdenyut nyeri kembali setelah mengingat adegan aksi padi tadi di dalam kelas.
Emma tersenyum lagi, dia tidak mengutuk Gates mau pun bersimpati lebih untukku. Reaksinya memberiku jawaban bahwa 'kekerasan' seperti tadi normal terjadi di sini. Aku mencoba menahan diri untuk bertanya mengapa demikian, terlalu manja jika harus mengeluh padanya.
"Bagaimana bisa kalian saling kenal?" tanyaku mengarah pada Ashley.
"Ibuku pernah membawaku berkunjung ke sini saat Emma masih junior." Ash mendudukkan bokongnya di ujung ranjangku. "Kami berkenalan saat itu."
Aku tidak heran lagi mengapa Ashley bisa sangat tahu tentang sistem per-esperan ini, bagaimana cara sekolah ini bekerja, bagaimana Gates bisa mengenalinya langsung dan segala hal lain yang berkaitan dengan tempat ini. Ibunya pasti benar-benar orang berpengaruh di tempat ini.
"Jadi kau masih belum tahu alasannmu berada di sini, Claire?" tanya Emma dengan suara lembutnya.
"Kurasa aku butuh beberapa petunjuk."
"Aku juga bukan keturunan Esper—sama sepertimu," kata Emma dengan nada akrab biasanya. "Aku hanya punya ekstra sensori dan baru menyadarinya saat usiaku sepuluh tahun."
"Tapi aku enam belas tahun dan masih belum tahu apa aku punya sesuatu seperti itu atau tidak." Aku menghela napas dalam. "Seseorang di dalam kelas mengatakan bahwa aku telat berkembang."
"Tidak juga," sahut Emma dengan senyum lebar yang kelewat manis. "Ekstra sensori tidak datang ketika kau menginginkannya, kemampuan itu muncul saat kau benar-benar membutuhkannya."
"Jadi, bisakah kau membantuku mencari tahu—kira-kira kapan aku membutuhkannya?"
"Berbaringlah," titahnya. Aku menurut.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Descent
Science FictionClary Hart, gadis 16 tahun yang kehilangan ingatannya setelah mengalami kecelakaan misterius mengikuti tes sekolah lanjutan yang diselenggarakan pemerintah. Saat ia merasa gagal dan putus asa karena kondisi mental pasca traumanya, tanpa diduga-duga...