Aku menggenggam erat sebuah kalung dengan liontin berbentuk capung seukuran koin satu sen di dadaku. Sebenarnya tidak ada yang spesial dari benda tersebut. Tidak ada hal magis atau kekuatan supranatural yang akan terjadi ketika aku melakukannya. Hanya saja, sudah menjadi kebiasaanku meremas sesuatu ketika aku gugup, dan satu-satunya benda di dekatku yang tidak akan berubah kusut atau remuk jika kuremas kuat seharian adalah liontin tersebut.
Berada dalam barisan panjang bersama para remaja lain seusiaku cukup membuat pompaan jantungku lebih cepat dari biasanya. Ini kali pertamanya aku pergi ke gedung utama pemerintahan—tempat paling terawat dan paling besar di kota ini—terlebih sendirian. Susan tidak mungkin mengantarku melakukan tes medis hari ini. Lagi pula, anak remaja mana yang masih diantar kakaknya melakukan tes ringan seperti ini.
Dominasi warna putih pada tembok, warna perak untuk tiang penyangga yang tingginya lima kali dari tinggiku, serta pilihan keramik biru laut yang mengkilat di atas lantai yang aku pijaki berhasil membuatku menganga. Ada lebih dari seratus remaja di lantai ini dan ratusan lainnya dalam enam lantai yang tersisa, namun bagunan ini masih tetap terlihat luas dan kosong.
Aku membalikkan tubuhku ketika seorang pria yang kukenal masuk ke dalam radarku. Bukan radar sungguhan, hanya ungkapan yang biasa kugunakan ketika aku merasa seseorang tengah berjalan mendekat ke arahku. Pria itu mengetukkan boots hitamnya dengan gagah hingga menimbulkan bunyi hentakkan yang kuat. Tangannya mengepal di samping celana hitam bersaku banyaknya.
"Kau gugup?" suara paraunya menjernihkan kembali pikiranku.
Aku menarik napas, mencoba mengurangi getaran dari pita suaraku. "Tidak terlalu."
"Jarum suntik tidak akan menyakitimu," Ia tersenyum, tubuhnya yang jangkung dan besar selalu membuatku mendongak setiap kali menatapnya. "Harus kuingatkan bagaimana rasanya?"
"Seperti digigit semut." Aku memutar bola mataku.
Pria besar itu tertawa, dan tentu saja aku tidak.
Robert adalah seorang petugas keamanan tingkat 1, paling tinggi jabatannya di atas para polisi maupun tentara. Tugasnya seperti pasukan khusus. Rasanya sedikit aneh melihat orang sepenting itu berdiri mengawasi remaja 16 tahun yang hendak melakukan sebuah tes medis biasa—dengan senapan di tangan mereka.
Saat kami pertama bertemu, Robert masih siswa pelatihan. Usianya saat itu delapan belas—hanya selisih satu tahun di atas kakakku, dan lebih tua enam tahun dari usiaku. Suatu hari ia menemukan kakakku tergelincir dari kursi rodanya di musim dingin dekat dengan pos jaganya. Sejak hari itu ia rutin datang ke rumah untuk membantu mengerjakan pekerjaan tukang yang tidak bisa dilakukan aku maupun kakakku. Membawa banyak bahan makanan untuk kami bertiga.
Rob bercerita bahwa ia juga kehilangan keluarganya dalam kecelakaan mobil beberapa tahun yang lalu, sama seperti aku dan kakakku. Kupikir itu yang membuat kami cepat dekat, karena kami mengalami nasib yang sama.
Pria itu saat ini sedang tersenyum, memamerkan deretan gigi putih sempurnanya. Sebelah telapak tangannya yang besar berhasil menungkup seluruh kepalaku saat berusaha mengelusnya.
"Kau akan baik-baik saja," ujarnya, tapi kata-kata tersebut menguap begitu saja sebelum sampai di kepalaku. Tidak cukup mempan menenangkanku.
Aku hanya mengangguk, aku takut suaraku bergetar saat menyahuti ucapannya. Robert tidak tahu, sebeneranya bukan tes itu sakit atau tidak yang membuatku berkeringat dingin, melainkan hasilnya.
Setelah bangun dari koma panjang, setiap hari kurasakan sebuah nyeri berat di kepala. Sakit itu muncul dengan intensitas yang acak dari sedang hingga parah. Ketika ia berubah parah, sebuah delusi akan muncul hingga membuatku terkesan seperti orang yang selalu waspada dan ketakutan.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Descent
Science FictionClary Hart, gadis 16 tahun yang kehilangan ingatannya setelah mengalami kecelakaan misterius mengikuti tes sekolah lanjutan yang diselenggarakan pemerintah. Saat ia merasa gagal dan putus asa karena kondisi mental pasca traumanya, tanpa diduga-duga...