20: Hard to Explain

146 39 3
                                    

"Sampai jumpa nanti," ucap Ed saat pintu lift tertutup.

Dia meninggalkanku dan membiarkanku berdiri di dalam lift yang kosong—hanya berdua bersama Ben dalam kecanggungan. Sebenarnya, hanya aku yang canggung. Wajah Ben masih sama; terlihat tenang, ekspresinya selalu serius dan mantap.

Sulit dipercaya bahwa Ben datang ke sini untuk mencariku. Seseorang yang kukenal katanya sedang menungguku di ruangannya. Kami tiba di lantai dua dalam waktu tidak sampai lima menit. Ben memimpin jalan menelusuri lorong hingga tiba di depan pintu ruangannya. Aku bertanya sekali padanya tentang siapa yang sedang menungguku, namun Ben hanya tersenyum.

"Apa kabar, Clary?" tanyanya, melirikku dari balik bahunya.

"Ya?" Aku terkejut—setelah diam cukup lama akhirnya sesuatu keluar dari mulutnya. "Baik."

"Lama tidak bertemu."

Aku memicingkan mata, ini bahkan belum dua minggu sejak kami terakhir saling membentak satu sama lain. "Kurasa tidak cukup lama."

Ben tersenyum samar. "Itu sangat lama, Claire."

Aku mengangguk, terserah apa katanya.

Ben memutar tuas pintu ruangannya dan mendorongnya dengan sebelah tangan. Saat pintu itu terbuka, rahangku yang terkatup rapat tiba-tiba jatuh menganga. Seseorang yang sangat kukenal benar-benar menungguku. Robert sedang berdiri memunggungiku—menatap ke arah luar jendela yang menunjukkan pemandangan halaman depan sekolah.

Aku membeku di depan pintu memandanginya. Ia masih sama dengan dua bulan yang lalu. Tubuhnya yang tinggi dan berotot masih terbalut seragam dinasnya yang serba hitam. Rambutnya yang coklat pendek seolah betah ditata dengan gaya spike, kulitnya sedikit gelap terbakar sinar matahari.

Aku begitu merindukannya sampai ingin berlari dan melompat untuk memeluknya. Namun bagian dari diriku yang sadar menahan kakiku seperti memakunya ke dalam bumi. Rob tersenyum dengan indah, giginya yang berderet rapi terlihat sangat sempurna. Ia mengambil langkah lebih dulu dan menghampirku. Kemudian melingkarkan tangannya yang sekeras batu ke punggungku. Aku ingin memeluknya juga, tapi tak aku lakukan. Saat ia sadar pelukannya tak terbalas—tangan Rob jatuh kembali ke samping tubuhnya.

"Clary," ucapnya. "Kami merindukanmu."

Kami? Seolah Susan sedang bersamanya juga.

Ben masuk ke dalam ruangan untuk mengambil cangkir kosong di dalam nakas di sebelah kananku lalu keluar melewati pintu, aku tahu ia sedang memberi aku dan Robert ruang dan waktu untuk berduaan saja. Sedangkan Robert sendiri melangkah dan duduk di salah satu kursi di dalam ruangan itu. Kepalanya mengangguk, memerintahkanku untuk mengikutinya duduk juga.

"Sedang apa kau di sini?" Aku mengabaikannya dan hanya berdiri di samping meja kerja Ben.

"Menemuimu.., mencoba memberimu penjelasan," ujar Rob. "Sekaligus memberimu peringatan."

"Peringatan?" Aku membelalak kaget.

"Susan melihat bagaimana reaksimu setelah kau mengetahui—hal yang baru saja kau ketahui," Robert menyengir, lebih seperti meringis. "Dan reaksimu benar-benar buruk."

"Melihat sepertiku?" ulangku bingung.

Robert mengangguk dengan serius. "Hanya saja pada masa yang sedikit berbeda."

Sejenak kebingungan meredakan amarahku dan mengubahnya menjadi rasa penasaran. "Apa maksudmu, Rob?"

"Kau sedang bertanya-tanya tentang kinesismu dan apa yang kami sembunyikan darimu, kan?"

Aku tersentak, namun mengangguk.

"Susan melihatnya," katanya lagi. "Ia tahu bahwa; alih-alih datang pada kami berdua untuk bertanya—kau lebih memilih untuk kesana-kemari mencari jawaban dan berakhir membenci kami berdua."

The DescentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang