19: What a Feeling

127 36 6
                                    

Edmund tidak membawaku kembali ke asrama, ia menekan tombol enam di dalam lift dan memapahku menuju balkon dengan atap kaca transparan di lantai teratas. Menurutnya, tidak ada tempat lain yang lebih nyaman untuk merenung—selain di sini. Dan kurasa dia benar.

Aku mengigiti kukuku sendiri dan bersandar tak berdaya pada pagar pembatas yang terlihat seperti susuran tangga tersebut. Dari tempatku berdiri, puncak pohon kayu merah terasa lebih dekat—meski aku tahu jaraknya hampir setengah kilo meter dari belakang sekolah kami. Air mataku sudah berhenti mengalir tapi pipiku masih setengah basah. Edmund berdiri dengan punggung menempeli tembok dan tangan yang menyilang di dada—seolah gaya tersebut sudah menjadi ciri khasnya.

Untuk beberapa saat kami saling mengunci mulut, keheningan di antara kami rasanya bisa membuat tegang sampai ke tulang sumsum. Edmund diam menungguku untuk mengatakan sesuatu, dan aku diam karena kebingungan masih menenggelamkanku.

Pada akhirnya, aku menceritakan semuanya. Mulai dari sejak kapan sakit kepalaku bermula—kemudian aku tahu bahwa rasa sakit itu ternyata berasal dari obat-obat yang kakakku berikan. Setelah ceritaku sampai pada saat Joan mengatakan sesuatu yang aneh mengenai kinesis, Edmund baru bereaksi, ia mengerutkan keningnya.

"Jika kau punya kinesis—kau harusnya pernah melihatnya... atau merasakannya setidaknya sekali seumur hidupmu," komentarnya. "Kinesis adalah kemampuan berwujud. Kalau pun tidak untuk penggunanya, efeknya akan terlihat nyata untuk orang lain."

"Apakah obat itu benar-benar bisa menghilangkan kemampuanku?" aku berhenti mengigiti kukuku dan berbalik menatapnya dengan serius.

"Jika itu benar, maka tidak akan ada orang yang over reaksi andai kemampuan bisa hilang semudah itu."

Aku tidak sadar sebelumnya betapa berbinarnya mata Edmund di bawah cahaya matahari pagi yang masih terlihat kekuningan. Ia terlihat cerah saat tersenyum, tapi tampangnya yang serius dan berapi-api lebih mengaggumkan lagi.

"Pada faktanya kau masih memiliki nilai dynamesa, yang artinya... obat itu memang hanya menekan angkanya—bukan melenyapkannya," lanjutnya.

"Kalau begitu, bagaimana dengan sintetis?"

"Clairivoyantmu?" tawanya meremehkan. "Apakah kemampuan itu bisa mempengaruhi oranglain?"

Aku menggeleng dengan frustasi, semua orang di tempat ini tahu bahwa aku hanya bisa menggunakan kemampuan itu untuk mengintip. "Mungkin dua ekstra sensori, satu lagi berubah menjadi sintetis."

"Kepalamu akan pecah jika benar begitu."

Benar, itu sangat tidak mungkin—bahkan untuk esper keturnan sekalipun—tak semua dari mereka punya ekstra sensori. Satu saja sudah membuatku kepayahan, bagaimana jika dua. Sekeras apa pun aku memikirkannya, omongan Joan sungguh terdengar seperti omong kosong bagiku.

"Aku tak ingin menyinggung tentang ini, tapi aku harus mengatakannya," Edmund berhenti sejenak, nada suaranya terdengar ragu. Setelah aku menaikkan alis dan mengangguk—ia melanjutkan. "Kau kehilangan ingatan dan kakakmu lumpuh. Bukankah semua itu efek dari over reaksi?"

"Kau benar-benar sangat terobsesi dengan itu," aku memutar bola mataku. "Aku dan kakakku masih hidup dengan normal sampai sekarang. Meski kami cacat—tidak ada kemampuan tak terbendung yang keluar dari tubuh kami berdua. Jika memang benar begitu, aku harus mengadakan acara syukuran karena masih bisa sesehat ini setelah over reaksi."

Edmund mengangguk setuju. "Kau benar, itu tidak mungkin."

"Kukira kau cerdas," gumamku.

"Bukan aku yang tidak cerdas, tapi masalahmu yang terlalu pelik."

The DescentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang