18: Two is Company (2)

159 37 9
                                    

Kami berdua lebih suka menuruni tangga yang sepi dari pada berdesakan di dalam lift bersama junior lainnya. Namun, karena Edmund tidak berkata-kata dan tangga ini terlalu panjang jika dilalui dengan penuh keheningan, aku memberanikan diriku bertanya lebih dulu, "Bagaimana rasanya bisa mengingat semua hal?"

"Entahlah," jawabnya terdengar ragu. "Rasanya seperti kepalamu penuh dan dadamu sesak."

Aku meliriknya sebentar dan ia hanya memandang lurus ke depan. "Sesak karena?"

Kurasa itu bukan pertanyaan yang sulit namun ia terdiam beberapa detik seolah enggan menjawab. "Karena kenangan tidak selalu indah, ada juga yang buruk."

"Menurutmu lebih buruk mana antara tidak bisa melupakan semua hal atau tidak bisa mengingat semua hal?" tanyaku. Ia mulai melirikku melewati bahunya. Kurasa atensinya sudah kembali—atau, pertanyaanku berhasil mengusiknya.

"Mungkin akan lebih baik kalau kita bisa mengingat dan melupakan sesuatu seperti manusia pada umumnya," ujarnya dingin. Oh, sudah pasti ia merasa terganggu. "Kenapa kau menanyakan itu?"

"Karena aku tak bisa mengingat kejadian yang pernah kualami." Aku mengatakannya setenang mungkin seolah hal yang baru kukatakan hanyalah sebuah topik ringan. Tapi aku bersumpah saat mengatakannya rasanya sama seperti menelan sesuatu yang sangat asam.

"Maksudmu—sesuatu terjadi pada ingatanmu?" tanyanya terkejut. Akhirnya ia memperlambat langkahnya. "Bagaimana bisa?"

"Seperti kedengarannya," Aku mendongak-memiringkan kepalaku ke satu sisi. Perawakan Edmund yang tinggi membuatku kesulitan menatap matanya langsung. "Aku mengalami kecelakaan dan saat aku bangun aku tak bisa mengingat apa pun."

Ia memandangku dengan tatapan penuh tanya. "Seluruh ingatanmu?"

Aku mengangguk. "Tak ada sedikit pun yang tersisa."

Edmund meringis. "Separah apa kecelakaan itu?"

"Aku tidak tahu karena tidak bisa mengingatnya," bisikku menghela napas. "Aku berkendara dengan ibuku saat itu dan ibuku tidak terselamatkan."

"Itu pasti sangat parah," Edmund terdengar menyesal. "Bagaimana perasaanmu sekarang?"

"Rasanya kepalaku kosong dan dadaku hampa."

Edmund termenung sejenak, tiba-tiba ia mengatakan, "Kau dan aku seperti dua potong puzzle dengan sisi yang berbeda namun kedunya berantakan dengan cara yang sama."

Aku menaikkan alisku dan tertawa. "Sejak kapan kau mulai membuat perumpamaan?"

Awalnya ia tidak tersenyum—wajahnya muram. Tapi kemudian raut wajahnya kembali ceria. "Seberapa besar kau meremehkanku?"

"Kukira kau hanya cowok kasar yang tak pernah tahu bagaimana cara berbasa-basi."

Aku menatapnya bertanya-tanya apakah ia tersinggung dengan gurauanku atau tidak, dan ia balas memandangku sekali sebelum akhirnya tertawa. "Sekarang kau yang tidak bisa berbasa-basi."

Aku tersenyum mengangkat bahu. "Mungkin kau benar."

Selama beberapa saat kami melanjutkan menuruni tangga tanpa berbicara. Lalu beberapa saat selanjutnya kami membahas hal-hal yang kami lihat dari luar jendela saat berbelok menuju lantai lainnya.

Saat di lantai dua, aku melihat lapangan sepak bola di belakang halaman sekolah. Aneh rasanya, untuk apa mereka mengosongkan lahan seluas itu—bahkan membangun tribun-tribun kecil di sekelilingnya. Karena selama aku tiba di sini, aku tak pernah melihat lapangan itu digunakan. Dan jawaban Edmund adalah: "Hanya untuk pajangan, esper jarang melakukan olahraga seperti itu."

The DescentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang