🌿BC-01

30.3K 3.4K 225
                                    

Tengah malem tepatnya jam satu dini hari, gadis dengan nama lengkap Dea Mila menghentikan larinya di pinggir jembatan jalan raya. Napasnya ngos-ngosan. Tangan kusam itu mengusap peluh di dahi dan leher. "Astaga! Rasanya mau mati."

Mila berpegangan pada pembatas jembatan, lalu menatap gelapnya permukaan sungai. Gemercik air terdengar nyaring masuk kedalam gendang telinga Mila, pertanda bahwa arus sungai sangat deras di sertai bebatuan besar. "Rasa bosan hidup tapi takut mati," gumamnya.

"Sampai kapan gue di hantui dan di kejar-kejar orang terus. Gue capek." Mila melipat kedua tangan di atas pembatas besi, meletakkan kepalanya di situ.

Tak lama kepalanya mendongak kembali. "Dunia terasa kejam buat gue. Jalani hidup bukan sebatangkara, tapi penuh kesengsaraan. Sendiri, lontang-lantung di jalanan."

"Gue harus sembunyi dimana lagi? Seharian gue belum makan gara-gara mereka." Mila memegang perut yang mulai terasa perih.

Mila terjingkat kaget ketika merasakan sebuah tepukan di atas kepalanya. "Sialan lo!"

"Lo ngapain malam-malam sendirian disini? Ntar orang ngira lo mau bunuh diri," kata Bayu teman sebaya Mila.

"Maunya sih gitu-"

"Lo gila mau bunuh diri!" potong Bayu.

Gadis yang baru menginjak usia dua puluh dua tahun itu kembali meletakkan satu tangan di pagar jembatan, dagunya ia tempelkan. Sedangkan tangan yang bebas bergelantung di luar jembatan. "Gue bosen hidup tapi gak mau mati Bay. Gimana dong?"

"Dari dulu kalau ngomong suka ngelantur lo Mil." Bayu memperhatikan wajh pucat dan lesu Mila dari keremangan. "Wajah lo pucet. Kenapa?"

"Gimana gak pucet orang gue belum makan dari subuh," jawab Mila pelan.

"Seriusan lo belum makan?"

Mila menegakkan kembali tubuhnya, mengibaskan satu tangan ke samping. "Ah udahlah. Jangan banyak cincong, gue capek!"

"Lo di kejar dekolektor lagi?"

Memang benar. Dari umur tujuh belas tahun, lebih tepatnya ketika dirinya memiliki KTP. Mila kerap kali di jadikan kambing hitam oleh bapaknya, hutang dimana-mana dengan menggunakan namanya.

Tapi untuk kali ini bukan hanya dekolektor, bapaknya juga turut mengejar dia. "Ya di kejar dekolektor, ya di kejar Bapak."

"Kenapa lagi Bapak lo?"

Kepala Mila menggeleng. Kali ini ia tak mau menceritakan hal ini kepada siapapun termasuk Bayu, satu-satunya teman yang dari dulu sampai sekarang selalu ada untuknya.

Mendapati gelengan dari Mila, Bayu kembali bersuara, "Ayo lah Mil cerita."

"Gak semua masalah bisa di ceritain Bay."

Bayu paham dengan maksud Mila. Jika sudah begitu pasti ada masalah besar, namun Bayu juga tak mau memaksa Mila untuk bercerita. "Ya udah kalau gitu ikut gue yok." Bayu menarik tangan Mila.

"Gak!" tolak Mila menghempas tangan Bayu pelan.

"Yakin gak mau di teraktir makan?"

Mendengar kata teraktir Mila kembali menaruh tangan Bayu ke lengannya. "Kalau gitu ayok. Tarik lagi tangan gue, kagak papa," seru Mila semangat.

Bayu berdecak. "Dasar matre."

"Heh! Realita manusia itu matre, cuma cara tanggap mereka aja yang beda. Kalau mereka dalam hati pengen tapi mulutnya bilang enggak mau, tapi kalau gue ingin, di kasih iyain. Kalau bisa dapet yang gratis ngapain beli. Gak baik nolak rejeki," balas Mila.

Banana CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang