🌿BC-18

10.9K 2.7K 1K
                                    

Di dalam ruang tamu kediaman Husein, duduk tiga orang, yang satu sibuk dengan kitab sementara yang dua sibuk saling mengulang hafalannya. Husein yang menyimak sementara Melin yang menghafal.

Hampir setiap hari bola mata Mila selalu disuguhkan pemandangan seperti ini, sangat memuakkan. Harapannya saat ini gadis yang bernama Melin itu lekas pulang kerumahnya sendiri.

Melin tidur di rumah Husein tidak perempuan sendiri, ada Daniar putri kedua Buya Abdurrasyid yang menemani, tahu sendiri dirumah ini hanya di huni dua orang laki-laki. Sementara dirumah Buya Abdurrasyid selalu ramai disinggahi tamu, dan itu membuat Melin tak nyaman. Oleh karena itu ia tinggal disini sampai hari libur sekolah usai.

"Adem banget liatnya, jadi iri," celetuk Farah.

Kepala Mila nongok seketika, ingin marah sadar ia bukan siapa-siapa. Kata-kata pedasnya tertahan di pangkal tenggorokan, tak mampu untuk mengeluarkan.

Melihat ekspresi Mila, Farah pun bertanya. "Kenapa Mbak?"

"Gak papa," jawabnya tertahan.

"Gue mau lanjut bersih-bersih," sambung Mila masuk kedalam dapur.

Mila manaruh kedua tangan di atas pantry, matanya menatap tembok putih. Pandangannya bergeser, semua piring sudah ia cuci. Kepalanya mendongak, kedua tangan terangkat membuka kabinet atas, terjejer beberapa piring yang tak pernah dipakai. Kedua sudut bibirnya tertarik.

Ia keluar dari dapur, pergi ke ruang tamu menghampiri Galih. "Galih."

Galih yang kebetulan sudah selesai dengan kitabnya pun noleh, tentunya bukan cuma Galih yang perhatiannya terusik akan tetapi Melin dan Husein juga turut mengalihkan perhatian.

"Kenapa Mil?" tanya Galih.

"Gue boleh minta tolong gak?" Bola matanya sedikit melirik Husein.

"Ya boleh lah, minta tolong apaan emang?"

"Tolong bantuin gue ambil piring yang di atas, gue gak nyampe. Entar kalau gue paksain ambil sendiri malah jatuh, pecah lagi," papar Mila.

Ekspresi Husein mulai tak enak, ada Husein kenapa harus Galih yang di minta untuk membantunya. "Untuk apa piringnya di ambil?"

"Mau gue cuci, banyak debu," jawabnya.

"Gak perlu, lagi pula piringnya juga gak dipakai," kata Husein.

"Ya kalau gak dibersihin lama-lama debunya nempel, lagian jurok amat jadi orang. Ayok Gal." Mila menarik paksa baju bagian depan Galih. "Gue yang cuci kok dia yang repot," gerutunya.

Husein memandang punggung dua orang itu dengan pandangan cemburu. Jelas lah cemburu, Mila istrinya.

Melin melirik kakak sepupunya. "Ada kebakaran tapi bukan bakar rumah." Kedua tangan ia gunakan untuk kipas-kipas wajah.

"Lanjutkan murojaahnya, Mel," seru Husein datar.

"Kan, gue lagi yang kena," batin Melin.

"Gak di samperin, Mas?" tanyanya sebelum memulai kembali morojaahnya.

"Gak perlu," jawabnya singkat.

"Kenapa? Itu istri Mas Husein loh, gak takut jatuh cinta sama Mas Galih?" Bukan anaknya Meri jika tidak mampu membuat orang kesal. "Entar di embat cowok laen nanges."

"Mel, kamu ngeledekin Mas?"

Melin mengeluarkan cengirannya. "Gak ngeledek. Cuma kalau Mas diem aja yang ada Mbak Mila pindah kelain hati."

"Mel perhatiin Mbak Mila udah ada rasa loh sama Mas Husein, mungkin dia cemburu liat kita berdua. Mbak Mila cuma gengsi ngakuin kalau dia cinta sama Mas," kata Melin mengutarakan penyelidikan selama disini. Bisa dibilang ia beralih menjadi profesor.

Banana CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang