🌿BC-32

12.4K 2.8K 1.4K
                                    

Perasaan gelisah yang menghilangkan napsu makan kini mulai mereda setelah memberanikan diri untuk menceritakan semua tentang kehidupan masa lalunya kepada Husein.

Walaupun tak selahap dulu, setidaknya perutnya mau menerima nasi. Ia tahu, Husein tersenyum paksa kala mendengar fakta masa lalunya.

Tak apa, Husein berhak kecewa, Husein juga berhak marah. Setidak Mila sudah membernikan diri untuk jujur.

Ia pikir, marahnya Husein akan meledak-ledak seperti Bayu. Atau kalau tidak, dia akan pergi dari sini dan tak mau kembali lagi. Itu semua salah, meski kecewa, meski marah, tapi hampir setiap jadwal besuk laki-laki itu datang kemari membawa vitamin dan juga makanan untuknya.

"Kemaren nangis-nangis, pengen mati, sekarang senyum-senyum. Awas gigi lo kekeringan," sindir Intan.

Leni ikut bersuara. "Lo jauh lebih beruntung daripada gue. Suami lo hampir setiap hari kesini, sedangkan gue. Boro-boro setiap hari, selama kaki gue nginjek lantai sel, dia sama sekali gak ada jengukin gue."

"Dan gue gak minta mati, tuh. Sakit gak berdarah emang. Tapi yang namanya hidup pasti ada senang, pasti juga ada sengsara. Kalau cuma seneng doang gak ada pahitnya, hidup malah kerasa monoton," sambungnya.

Pina menekuk satu kaki layaknya orang nongkong di warung kopi. "Lo denger sendiri kalau hidup lo jauh lebih beruntung di banding kita. Udah, gak usah kecil hati."

"Gini-gini gue juga pernah ngaji. Guru gue dulu pernah bilang, ruhnya orang bunuh diri gak akan pernah tenang." Ghina mengubah duduk dari selonjor jadi bersila. "Kalau dia bunuh diri dengan cara minum racun, sampai hari kiamat, juga di neraka pun dia akan minum racun berulang kali. Dia terus-terusan ngerasain gimana sakitnya mati meminum racun."

"Makanya, se-sengsara apapun hidup, gue mikir seribu kali kalau mau bunuh diri. Di dunia sakit, di akhirat pun jauh lebih sakit kalau di tempuh dengan jalan bunuh diri," sambung Ghina.

Mila hanya mampu menanggapi dengan senyuman. Mereka memang tak tahu bagaiman hidup Mila selama ini. Yang mereka tahu, ia hanya mendapat hukuman yang bukan kesalahannya. Hingga membuat ia depresi.

Akan tetapi, kata-kata mereka ada benarnya juga. Tak seharusnya pikiran bunuh diri hinggap, atau pikiran ingin mati menjadi boomerang dan jalan satu-satunya.

"Btw gue penasaran sama suami," kata Intan si wanita dua puluh tujuh tahun.

"Ganteng, gak?" tanya Ghina ikut nimbrung.

Senyum Mila menghiasi wajah ayunya. Otaknya mulai menelisik dari segi fisik, sikap, dan cara bicara Husein kepadanya.

"Buluk mungkin," sahut Leni mendapati Mila hanya diam, senyum-senyum tak jelas.

Mendengar suaminya di bilang buluk, Mila noleh spontan ke arah Leni. "Sembarangan, suami gue ganteng tau. Sholeh, vokalis hadrah-"

"Anak pesantren?!" potong Pina.

"Bukan anak pesantren lagi, tapi cucu Kyai-"

"HAH! CUCU KYAI?"

Mila terperanjat mendengar suara keempat orang ini. Kedua tangan mengusap dada. "Apa sih kalian?! Ngagetin tau gak!"

"Serius cucu Kyai?" Intan menggeleng sembari tertawa. "Halu lo ketinggian."

Ghina ikut menimpal. "Tau, jatuh nyungsep lo."

Wanita itu berdecak. "Siapa yang halu, orang serius juga."

"Gak mungkin cucu Kyai suka sama perempuan modelan lo," imbuh Peni.

Mila menggeram ketika ucapannya di sangka haluan belaka. "Gue serius, malahan dia lebih muda dari gue. Sekarang usianya masih delapan belas tahun."

"Wah, gila. Makin ngaco ini anak. Sadar, hey!" seru Intan.

Banana CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang