🌿BC-11

11.3K 2.7K 565
                                    

Mila tersiksa, Nurul tertawa di atas sana. Gadis itu jatuh mengenaskan, menjadi tontonan para santri beserta dua lak-laki yang tak asing baginya.

Husein diam, kepalanya menggeleng, bukannya marah melihat sang istri jatuh dari ketinggian tiga meter justru menahan tawa hingga bibirnya berkedut.

Sementara Mila meringis kesakitan, beruntung di bawah pohon ditumbuhi rerumputan, bukan bebatuan atau kerikil.

Gadis itu masih belum sadar jika dirinya menjadi pusat perhatian. Bahkan sangking membuat penasaran, tak sedikit para santri keluar dari kamar untuk menyaksikan pertunjukan.

Sembari merubah mimik wajah, Husein bersuara. "Itu karma, bukannya ikut sholat malah tidur diatas pohon. Tulangnya ada yang patah gak?"

Posisi duduk, Mila mendongak menatap tak suka laki-laki yang berdiri tak jauh darinya. "Lo ngedoain gue patah tulang?! Emang bener-bener. Bantuin berdiri kek, gak punya hati amat."

Tak mau Gus nya di suruh-suruh, dua santri wati sedikit maju hendak membantu Mila. Akan tetapi niat dua santri tersebut diurungkan oleh suara Husein.

"Gak perlu di bantu, dia masih sehat. Tulangnya masih belum patah jadi masih mampu untuk berdiri sendiri," seru Husein.

Meski tahu Mila istrinya, bukan berarti Husein membenarkan kesalahan Mila. Dia salah sebab waktu yang seharusnya digunakan untuk sholat berjamaah justru di tinggal tidur apalagi tidur diatas pohon. Selain membahayakan diri, aksi ini juga dapat ditiru santri lain.

Salah ya salah, tak ada hal yang salah lalu di benarkan. Hukuman juga wajib dijalani. Dia yang berbuat maka dia juga yang akan menanggung resikonya.

Dengan susah payah serta emosi yang sudah ada di ubun-ubun Mila berdiri. "Sebenarnya lo ada masalah apa sih sama gue?"

"Mbak, jangan bicara gak sopan sama Gus Ali," tegur salah satu petugas piket.

"Gue gak ngomong sama lo!" potong Mila.

"Mbak! Jaga tingkah lakunya, ini area pesantren. Jangan bertingkah seenaknya," kata salah satu ustad.

"Semuanya bubar, kecuali Dea," titah Husein.

Mendapat peringatan sedemikian rupa, para santri yang begrumbul itu pamit undur diri. Kini tinggal tiga orang saja, siapa lagi kalau bukan Mila, Husein, dan Galih.

Yang membuat Mila marah bukan malu ditonton banyak orang, tapi kaget. Bayangkan saja, orang lagi enak tidur di kagetkan di tambah ada adegan jatuh, itu lah yang membuat Mila emosi.

Sedangkan si penyebab dirinya kaget dan jatuh sudah hilang setelah puas tertawa di atas pohon.

Mila ikut beranjak, karena ia tak merasa namanya di sebut.

"Siapa yang nyuruh kamu pergi."

Gadis itu menghentikan langkah kakinya. "Lo ngomong sama gue?" Menunjuk dirinya sendiri.

"Kamu Dea, kan?"

"Udah dibilang, jangan panggil gue Dea. Gak suka," kata Mila. Entah kenapa ia risih jika ada yang memanggil dirinya Dea, padahal namanya memang di awali dengan nama Dea.

"Baik lah, Mbak Mila ikuti saya. Kalau gak mau, hukuman akan saya perberat!" tegas Husein.

"Kok dihukum. Emang salah gue apa?"

"Lo selain cantik lucu juga ya," celetuk Galih.

Mendapat pujian pandangan Mila beralih pada laki-laki yang berdiri disamping Husien. Gadis itu tersenyum. "Serius gue cantik?"

Galih mengangguk. "Serius lah, gue tuh tipe cowok kalau muji pilih-pilih."

"Wah, lo cowok ketiga yang puji gue dengan tulus." Jari lentik Mila mulai menghitung. "Pertama kakek, kedua Bayu, dan yang ketiga lo. Makasih."

Banana CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang