🌿BC-22

12.2K 3K 2K
                                    

Penampakan fenomenal, dari sekian hari baru kali ini Mila duduk sejajar dengan Melinda Syakira di taman tak jauh dari lapangan sekolah.

Mungkin hari ini Melin masih bisa menetap di pesantren ini, namun dua hari kedepan ia harus kembali ke pesantren At-Ta'aruf sebab sudah hampir dua minggu ia berada disini, sementara libur sekolah semester awal juga hampir habis.

Baik di pesantren At-Ta'aruf maupun Al-Ikhsan hanya meliburkan santri satu tahun dua kali yaitu satu minggu semester awal dan satu minggu semester akhir.

Para santri Al-Ikhsan pun juga sudah melalui masa libur, mereka boleh pulang ke rumah masing-masing dengan jangka waktu yang sudah ditentukan. Banyak yang pulang juga banyak yang memutuskan untuk menetap dengan tidak dipadatkan aktivitas pondok.

Tapi kebanyakan mereka memilih untuk tidak pulang dengan alasan jauh atau lebih betah berada di pondok.

Kenapa mereka lebih memilih menetap? Selain jarak tempat tinggal jauh, pada hari libur tersebut pesantren tak banyak penghuni, jadi bisa sedikit bebas.

Mandi tak lagi antri, hafalan juga tak diberatkan. Tidur yang biasanya gerah, kini tak lagi sumpek. Ngaji pun santai. Poin yang paling penting, dengan menetap dipondok waktu mereka tak terbuang sia-sia, bisa lebih dekat pula dengan ustadzah bagi santri putri, dan ustad untuk santri putra.

Setelah satu minggu dirumah, mereka wajib untuk kembali tanpa ada uluran waktu barang sehari. Apabila waktu tertentu belum kembali maka akan diberi sanksi berupa baca al-qur'an satu jus di depan ndalem Husein, plus denda uang tunai sebesar lima puluh ribu rupiah. Itu semua dilakukan agar para santri bisa disiplin tepat waktu.

Mila menatap batu kerikil yang terhampar. "Mel, menurut lo Husein itu kayak gimana sih?"

"Wah, dalam rangka apa nih Mbak Mila nanya soal Mas Husein? Suka ya?"

"Gak tau, gue masih bingung."

"Suka aja kali Mbak, halal kok."

"Emang siapa yang bilang Husein haram? Dia bukan babi."

Melin menggaruk kepala, benar juga apa yang dibilang Mila. "Menurut aku Mas Husein orangnya baik banget, cuma rada posesif sih. Kalau dalam mode sabar, pake banget kayak Ayah. Tapi kalau udah cemburu, jangan ditanya lagi, mirip bunda."

Jangan salah, Melin bukan ngawur memberi keterangan. Dari kecil Husein memang seperti itu, jika rasa cemburu hinggap maka dia akan seperti ibunya. Bukan marah meledak-ledak, dia akan memberi sedikit siraman rohani lalu diam alias merajuk.

"Bundanya Husein?" Dibalas anggukan kepala oleh sang empu.

"Emang bundanya Husein kalau marah kayak gimana?"

"Suka merajuk," jawab Melin. "Mbak Mila masih ragu dengan perasaan Mbak sendiri?"

"Gue bingung, Mel. Takut juga."

"Takut kenapa?"

"Gue takut dia cuma permainin hati gue doang," balasnya sendu.

Melin menyentuh bahu Mila. "Mbak, Mel tau banget Mas Husein kayak gimana. Sekali bilang cinta, ya cinta, bukan dusta. Percaya deh, masa Mel bohong."

Tak lama keduanya diberi tahu untuk kumpul di masjid oleh salah satu santri putri.

Seperti biasa, jika kumpul seperti ini Mila akan mengambil posisi pojok belakang, untuk apa lagi kalau bukan tidur.

Kadang Mila kesal, setiap ada ceramah matanya sama sekali tak bisa diajak kompromi. Seperti saat ini, tadi melek, sekarang sudah berat.

"Tidur lah... Tidur lah..." Nurul mengipasi wajah Mila menggunakan kedua tangan.

Banana CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang