🌿BC-24

13K 2.9K 1.2K
                                    

Pagi ini Husein tidak ngajar maupun kuliah, ia sudah berencana untuk mengajak Mila ke coffee shop.

Dari semalam tepatnya setelah turun ngaji, istrinya mogok bicara hanya karena tak bisa mengucap huruf jim. Waktu satu jam di pergunakan untuk belajar melafalkan huruf jim saja.

Kenapa ngambeknya di limpahkan kepada suami? Sebab Husein lah pembimbingnya. Ia kesal lantaran tak kunjung usai.

Sementara Melin sudah kembali ke pondok pesantren At-Ta'aruf dua hari yang lalu. Gadis itu di jemput sang ayah dan juga kedua adik kembarnya, siapa lagi kalau bukan Nizam dan Nazam.

Husein melirik dimana istrinya berada. Masih diam tak bersuara. "Gak baik diemin suami lama-lama."

Mila membalas lirikan sang suami. "Bodo amat."

"Kalau gak belajar gak bisa."

"Tapi gak waktu satu jam juga buat belajar itu-itu aja, bibir gue capek ngomong jim doang," balasnya.

"Ya udah, nanti di perbaiki. Belajarnya harus tiap hari," katanya. "Mau ikut?"

"Enggak."

"Yakin gak mau ikut? Emangnya gak bosan dirumah terus? Kalau enggak ya udah, alhamdulillah punya istri gak suka kelayapan."

Kepala Mila mendongak melihat orang yang bersuara. "Mau kemana?" Nada suara tak seketus kalimat sebelumnya.

"Coffee shop, sekalian pantau toko kue bunda." Husein menyodorkan satu tangan untuk di cium sang istri.

Tangan di sambut, bukan di cium justru di tarik. Niatnya ia tarik agar Husein membatunya untuk berdiri, namun karena si empu tak tahu maksud Mila, dirinya juga belum siap pada akhirnya Husein tertarik jatuh di atas tubuh istrinya.

"Astagfirullah!"

"Akh!" pekik Mila kaget.

Mila mengerang ketika tubuhnya tertindih tubuh kekar Husein. "B-berath Sein!"

Mendengar erangan dan rintihan istrinya Husein pun tersadar, segera menopang tubuhnya dengan kedua tangan.

Wajah terkejut itu berubah tatkala mendapati ekspresi Mila saat menetralkan deru napas. Entah kenapa meski banyak yang bilang Mila tak pantas bersanding dengannya, sama sekali tidak mengurangi kadar rasa cinta Husein terhadap Mila. Justru semakin dekat, dan tahu bagaimana sifat asli Mila samakin membuatnya jatuh cinta.

Deg

Jantung keduanya berdegup kencang ketika dua iris mata tak sengaja beradu. Baik Mila maupun Husein terdiam kaku, sama-sama tak bisa berkata.

"Engkh... Sein, gue jangan di apa-apain ya," lirih Mila.

Husein menarik napas dalam, menghembuskan pelan. Menetralkan datak jantung dan kegugupannya. "Memangnya kamu pikir saya mau ngapain?"

"Ah tapi gak mungkin. Lo kan pernah bilang katanya gak napsu sama gue." Mila menunjukkan deretan gigi rapihnya. "Jadi gue gak perlu khawatir."

Mata Husein terpejam, sungguh ia menyesal telah melontarkan kalimat seperti itu. Kalau sudah begini lantas ia harus bagaimana?

Ia bangkit tak mau menanggapi ucapan istrinya. "Mau ikut apa enggak?"

Mila turut bangkit. "Mau!"

Tepat pintu kamar, Husein membalikkan badan, matanya melebar mengatahui Mila keluar tanpa mengenakan hijab. Sontak ia pun masuk kembali, menutup pintu rapat-rapat.

"Kenapa?" tanya Mila belum sadar jika dirinya tak mengenakan khimar.

"Hijabnya mana?"

"Hijab?" Kedua tangan Mila mendarat, menyentuh bagian kepala. "Loh, hijab gue mana?"

Banana CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang