🌿BC-16

11.2K 2.7K 821
                                    

"Siapa yang nyuruh kamu keluar dari pesantren?" Aura mencekam seketika muncul mendengar suara datar Husein.

Perlahan Mila menurunkan kedua tangan dari bibirnya. Napasnya tertahan sejenak. Diliriklah dimana Bayu berada. Dalam hati berkata, "gila nya si Bayu gak ketulungan. Pake ngajak ketemuan disini segala."

Bayu yang lupa siapa laki-laki ini pun bingung. Pandangan Mila bertemu dengan manik mata abu gelap milik Husein. Selama hampir dua minggu tinggal di pesantren ia tak pernah sekalipun melihat tatapan Husein setajam ini, tampak seperti menahan amarah.

Gadis itu menggigit jari telunjuk. "Eh, kok lo bisa ada disini?"

"Harusnya saya yang tanya, kenapa kamu ada disini? Kabur lewat mana?"

"Mil, lo kenal sama dia?" tanya Bayu.

"Anu, dia cowok yang di ceritain kakek."

Kepala Bayu manggut-manggut. "Ohh, dia."

Tak mendapat tanggapan, Husein kembali bersuara. "Pertanyaan saya belum kamu jawab."

"Gue gak kabur Sein. Seujon aja lo, ah."

"Kalau gak kabur kenapa bisa sampai disini? Bukankah dalam dua minggu ini kamu sudah tahu semua peraturan yang sudah di tetapkan di pesantren ini?"

Mila memberi kode berhenti dengan mengangkat tangan agar Bayu tidak bersuara. Jika dia yang bersuara bisa makin runyam kejadiannya.

Di angkat lah tas keranjang tinggi-tinggi. "Nih, gue disuruh kepasar sama Mak Nur, jadi gue gak kabur."

"Terus sekarang kamu ngapain nongkrong disini? Berduaan sama laki-laka yang bukan mahram, berpelukan, pegangan tangan. Kamu pikir saya gak liat?" Husein menghela napas. "Berulang kali saya beri tahu kamu, tolong jaga pandangan kamu. Dia laki-laki, dia juga bukan suami kamu."

Lagi-lagi Mila menahan mulut Bayu yang hendak terbuka, ingin turut bersuara.

Gadis itu berdiri, menatap mata Husein. "Mau sampai kapan lo ngatur hidup gue? Bayu teman gue dari kecil, mau gue pelukan sama dia, mau gue cium dia, gak ada urusannya sama lo."

"Kalau mau ngomong ngaca dulu, udah bener hidup lo? Suka ngatur, suka ngelarang ini itu tapi lo nya sendiri pegang-pegang tangan gue. Giliran ditanya kenapa gak bisa jawab."

"Gue capek tau gak, lo atur-atur terus! Di kurung kayak burung. Gini gak boleh, gitu gak boleh. Salah dikit dihukum." Rasanya ingin menangis, mengungkap apa yang di rasakan selama ini.

Hidup Mila seakan serba salah. Di luar sana bagaikan buronan, sementara di dalam pesantren ia merasa tertekan. Kenapa dari kecil hidupnya dipenuhi dengan tekanan? Sebenarnya apa salahnya?

Bayu ikut berdiri, sekarang ia ingat dengan laki-laki ini. "Mau lo apa sih? Dari awal, lo emang gak suka banget sama gue. Ada masalah apa? Jangan karena kakek Dayu percaya, lo bisa seenaknya ngatur hidup Mila. Dia punya kehidupan sendiri!"

Husein memandang Bayu dengan wajah tenang. Kalau ditanya emosi atau tidak, ya jelas dia marah. Akan tetapi ada sebagian sifat Agam yang tertanam dalam dirinya. Sekecewa, dan semarah apapun harus bisa mengontrol emosi. Jangan sampai emosi yang meledak justru akan melukai seseorang. "Saya ada hak atas Mila. Dia tanggung jawab saya. Kamu ingin tahu apa hak saya terhadap Mila? Silahkan tanyakan kakeknya."

Tatapan beralih dimana istrinya berada. "Jika memang kamu benar-benar merasa ditekan oleh saya." Husein terdiam sejenak, memberi jeda untuk menarik napas dalam. "Kalau memang kebebasan yang kamu inginkan, hidup lah semaumu. Saya gak akan ngatur kamu lagi. Saya gak peduli dengan apa yang kamu lakukan."

"Saya bukan marah karena kamu keluar dari pesantren, tapi saya marah karena kamu gak bisa menjaga diri kamu sendiri." Tatapan itu semakin dalam, sangat nampak kekecewaan dibalik netra abu gelapnya. "Saya benar-benar kecewa."

Banana CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang