11

5K 402 10
                                    

Diam Saja! Terima Apapun Titahnya!
.

.

.

Prima masuk ke dalam unit apartemen. Melangkah dengan lemas menuju ke dapur untuk meneguk air.

Namun, ia urungkan. Memilih memeluk Kencana yang saat ini memunggunginya.

"Kenapa sih?" tanya Kencana dingin. Sepertinya terkejut karena ia memeluknya tiba-tiba.

Tapi, pria itu tidak protes dengan pelukannya. Membiarkan dirinya bahkan tetap memeluk Kencana saat pria itu melangkah ke arah ruang tengah.

Saat Kencana hendak duduk, Prima melepas pelukannya. Lalu duduk di pangkuan Kencana dengan posisi menghadap ke arah Kencana. Kembali memeluk pria itu. Pun Kencana balas memeluk pinggangnya.

"Lo abis nangis lagi?" tanya Kencana tanpa menatap wajahnya.

Prima mengangguk masih senatiasa menaruh dagunya di pundak Kencana hingga ia tidak bisa melihat ekspresi Kencana.

Tapi, ia tau  pasti tidak ada ekspresi di wajah pria itu.

"Kan gue udah bil..."

"Iya tau!" sela Prima seraya menarik kepala. Memutuskan menatap Kencana. "Tapi aku gak bisa, Ken. Aku sensi banget. Mungkin gara-gara PMS."

Pria itu menghela nafas pelan. Mengusap pinggangnya dengan pelan. Mungkin berusaha menenangkannya. Menatapnya dengan intens.

"Tadi aku ketemu Naka. Emang kamu sama dia gak berteman lagi?" Prima pun mengingat sosok Naka yang baru bertemu dengannya setelah sekian lama.

Mungkin sejak lulus sekolah mereka tidak bertemu lagi.

"Biasalah udah gak satu tempat tongkrongan."

Prima pun manggut-manggut. Padahal Kencana dan Naka termasuk dekat saat sekolah dulu. Lalu kenapa sekarang pertemanan mereka regang?

"Lo tadi dari mana? Kok bisa ketemu Naka?"

"Tadi abis dari makan sama Kiki terus gak sengaja ketemu Naka."

"Oh," balas Kencana dingin, sembari membuang pandangan.

"Ken." Kencana kembali menatapnya. "Abis anterin Adalyn ke bandara?" Kencana mengangguk.

Entah Prima bernafas lega. Karena Adalyn kembali ke London, jadi ia tidak perlu merasa cemas jika Kencana dan Adalyn bertemu setiap harinya sebagai pasangan tunangan. Prima menatap intens Kencana. "Ken...kamu bakal nikahin aku, kan?"

Semenjak mereka menjalin hubungan dan berhubungan intim, tak pernah sekalipun Prima menyinggung hal ini. Walau ia selalu berangan-angan menikah dengan Kencana.

Tatapan Kencana berubah semakin dingin membuat Prima menciut. Menggigit bibir bawahnya cemas.

"Umur kita berapa, Prim?"

Meski bingung dengan pertanyaan Kencana, tapi Prima tetap menjawab, "Dua puluh satu."

"Lo mau nikah di umur semuda ini?" Prima hendak mengangguk, tapi Kencana kembali berujar, "Gue sih gak kepikiran sama sekali. Umur segini belum cocok buat berada di tahap kehidupan rumah tangga. Orang yang nikah aja di umur yang udah matang, berakhir pisah dengan alasan gak cocok."

Kencana mendengus pelan sebelum melanjutkan, "Padahal gak ada satu pun pasangan yang cocok. Tuhan nyiptain pasangan biar saling melengkapi karena gak ada manusia yang sempurna. Lo paham maksud gue?"

Prima mengangguk pelan menjawab pertanyaan Kencana.

Apa yang dikatakan Kencana ada benarnya. Mereka masih terlalu dini jika harus menikah. Salah-salah sedikit, sudah pasti akan berakhir perceraian dan Prima enggan merasakan hal itu.

GORGONIZETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang