36

5.3K 346 40
                                    

Bodoh
.

.

.

Dengan langkah pelan Prima menaiki undakan tangga. Tangannya gemetar memegang teralis. Matanya memerah karena menahan tangis. Meski ingin menangis, ia tetap tersenyum. Senyum yang begitu menyedihkan.

Saat tiba di puncak tangga, ia berhenti sejenak. Melihat ke arah depan.

Menghembuskan nafas pelan, ia merogoh ponsel dari saku tas salempangnya lalu menghubungi seseorang.

"Ha-halo..."

Di seberang sana Kirana mengkerutkan kening heran saat mendengar suara Prima yang gemetar. Dengan cepat ia beringsut duduk. Mengumpulkan sebagaian nyawa karena baru saja bangun dari tidurnya.

"Prim,..." Kirana tersenyum lega. Akhirnya Prima menelponnya setelah pertengkaran mereka. Rasanya begitu bahagia, mendengar suara Prima lagi.

"Ak-aku... sekarang bisa rasain gimana rasanya berada di tempat tertinggi..."

Senyum Kirana pudar. Dengan gusar ia segera beranjak dari tempat tidurnya. "Prim, kamu di mana?!" tanyanya frustasi.

"Indah banget pemandangan dilihat dari tempat tinggi begini, Ki. Aku nyesel baru lakuin ini sekarang." Di seberang sana Prima terkikik dengan suara bergetar membuat Kirana semakin tergesa-gesa keluar dari kamarnya. "Harusnya aku lawan rasa takutku, jadi aku bisa rasain hal ini dari awal. Pantas aja banyak orang yang suka mendaki, ataupun naik wahana yang memacu adrenalin. Ini bener-bener seru."

"Prim!! Kamu ngomong apa? Kamu di mana sekarang?!" bentak Kirana mengabaikan ocehan Prima.

Kirana tau Prima pobia ketinggian. Meski dibayar berapapun Prima tidak akan mau melawan rasa takutnya itu. Jadi, Kirana sangat cemas sekarang.

"Maafin aku Kiki... harusnya dari awal aku dengerin kamu..." Suara Prima semakin lirih di seberang sana membuat Kirana tidak kuasa menahan tangisnya. "Aku... aku bener-bener minta maaf karena selalu ngecewain kamu."

"Please Prim... kasih tau aku, kamu di mana?"

"Maaf,...." ujar Prima lalu mematikan sambungan ponselnya.

Kirana semakin panik, ia kembali menghubungi Prima tapi sudah tidak aktif. Akhirnya ia menghubungi Malik, mengatakan apa yang akan dilakukan Prima. Di seberang sana Malik tidak kalah paniknya. Segera menjemput Kirana.

Sementara itu, Prima masih meliarkan matanya menatap pemandangan dari gedung paling atas atau sebut saja rooftop. Salah satu gedung perusahaan yang paling tinggi di kota ini.

Dadanya berdebar tidak karuan.

Tangisnya sedari tadi tidak berhenti. Ia tersenyum mulai mengingat bagaimana pertama kalinya Kencana berbicara padanya.

"Heh! Jalan pake mata dong!"

Saat Kencana menyebut namanya.

"Prima? Nama lo Prima, kan?"

Saat Kencana mengatakan namanya unik.

"Lokasita Primadona? Nama lo unik."

Saat Kencana meminta minuman ion yang memang untuk pria itu.

Yang saat itu ingin ia buang karena tidak berani memberikannya pada Kencana. Tapi, dihentikan pria itu.

"Ini kayaknya masih baru. Kok lo mau buang?" Kencana bicara sembari menatap botol minuman ion tersebut yang masih tersegel. Lalu, pria itu kembali menatapnya yang masih terkejut karena melempar botol tersebut hingga mengenai kepala Kencana.

GORGONIZETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang