---//---
Pelajaran kedua sudah dimulai sejak Yuki meninggalkan ruang kelas yang kosong. Dia harus mengajar kelas lain. Selain dirinya para pengajar sudah memasuki kelas, begitu juga dengan para murid. Hanya mereka berlima- pembuat onar yang berulah di pagi hari pertama setelah kembali dari tahanan dua bulan- yang masih berkeliaran di lorong sepi akademi.
Iori melamun sambil berjalan berdampingan dengan Sougo yang juga tengah berpikir keras. Suasana kelompok mereka memang berbeda dari biasanya, hening. Dia tidak mau menerka-nerka pikiran teman-temannya¸ fokus utamanya adalah bagaimana mereka- khususnya dirinya- tidak melakukan perintah konyol akademi. Contohnya pura-pura sakit? Alasan yang mudah ditepis, akademi akan mengirimkan sihir atau ramuan penyembuh dengan mudah. Selain itu, Iori juga tidak suka sakit. Mau bagaimana lagi.
Mereka semua sepakat, dari pada memikirkan hal-hal konyol yang hanya akan menambah kesengsaraan mereka, ada baiknya mengikuti alur yang terjadi lebih dulu.
"Ah. Kita kehabisan waktu. Dengarkan aku baik-baik. Tahun ini kalian akan menjadi pertunjukkan utama, tempatnya hutan milik akademi, pohon sakura kebanggan akademi yang kalian siramkan ramuan gagal dan membuatnya mati- aku masih marah untuk soal itu- kalian akan berlatih di sana," papar Yuki buru-buru, kakinya melangkah keluar kelas.
"Eh? Kenapa harus di sana? Apa di sini tidak bisa?" tanya Mitsuki tak paham.
Yuki berhenti sejenak di ambang pintu, tangannya mengetuk dagu pelan berulang kali, menandakan dia juga mempertanyakan hal yang sama. "Oh!" pekiknya teringat sesuatu. "Itu karena... ada alasannya! Ayo pergi sekarang! Jangan membuatnya menunggu!" Yuki singkat mengibaskan tangannya dengan gerakan mengusir sebelum menghilang di balik pintu.
"Siapa?"
"Murid baru," teriak Yuki dari luar kelas meninggalkan pertanyaan di kepala mereka.
Mitsuki meregangkan tubuhnya, muncul di samping Iori. "Aku tidak tahu kalau akademi mau menerima murid baru di bulan ini," celetuknya mencairkan suasana.
"Kalau di sini bisa, mungkin akademi lainnya juga bisa. Kabar baik," sahut Iori kalem. Mitsuki menyikut lengannya pelan, merengut tak senang. "Murid pintar sepertimu pasti banyak yang menerima, kalau aku bagaimana nasibnya nanti??"
Iori melirik kakaknya sebentar, menggeleng. "Jangan khawatir Nii-san. Nii-san pasti bisa langsung mendapatkan akademi pengganti,"
"Mudah sekali kau bicara," sungut Mitsuki kesal. Sougo tertawa kecil, menoleh ke arah Iori dengan pandangan kagum. "Iori-kun sangat mengagumkan padahal umurmu lebih muda dariku,"
"Osaka-san tidak perlu khawatir. Pasti banyak akademi yang menunggu Osaka-san," balas Iori sambil tersenyum tipis. Sougo meremas jarinya gugup. "Aku harap begitu, tapi sejujurnya aku lebih senang berada di sini,"
Begitu perkataan Sougo selesai, Nagi berbalik dengan ekspresi yang bercampuran, membuatnya tampak aneh. "Aku paham itu, Sougo!! Cintaku sudah terjerat di sini!! Aku tidak bisa melihat siapa-siapa lagi kecuali Tsumugi!! Aarrgh!! Ini membuatku frustasi!!" jerit Nagi gusar.
Mata kiri MItsuki berkedut, kakinya menendang pantat Nagi tanpa ampun dengan kekuatan penuh. Nagi mengaduh mengusap korban kekerasan Mitsuki. "Kau ini setiap harinya hanya dihabiskan untuk mendekati para murid perempuan," tuding Mitsuki galak.
Nagi cemberut, kalah dengan wajah menyeramkan Mitsuki.
"Artinya kalau tidak mau keluar, kita harus melakukannya bukan?" seloroh Tamaki santai menguap lebar. "Aku tidak mau jauh dari Aya,"
"Tama, kau benar-benar orang yang santai 'ya," kekeh Yamato menyenggol lengan Tamaki. Yamato berbalik memandangi teman-temannya yang mewarnai kehidupan akademi dengan kericuhan. "Seperti kata Tama, kita tidak punya pilihan lain. Tanpa sadar hubungan kita dengan akademi sangatlah erat, kita harus bertahan sampai kelulusan," kata Yamato dramatis.
KAMU SEDANG MEMBACA
Another Note [Olympuss Magic] [AU IDOLiSH7] (END)
FanfictionHey, itu semua hanya hasil kebosanan para leluhur. Jatuh pada takdir? Sepertinya bukan. Di dunia dengan hanya ada warna hitam dan putih, mereka mau tidak mau harus mencari sosok apel yang dapat melepaskan kutukan mereka. Iori tidak percaya, tapi beg...