---//---
Sejak mereka berenam pamit-- dipersilahkan untuk kembali melanjutkan kegiatan, Iori merasa teman-temannya terlalu diam. Cukup aneh mengingat mereka biasa melupakan pembicaraan penting dengan cepat. Bukan memang sengaja dilupakan tapi mereka cepat mudah teralihkan.
Iori mencoba menimbang-nimbang apa yang dipikirkan teman-temannya-- faktanya mereka biasa berbagi sel pikiran yang sama-- sampai membuat suasana sehening ini. Iori menoleh ke arah Mitsuki yang diam di sebelahnya. "Nii-san apa kau-- EH Nii-san?!"
Iori mengedipkan matanya berulang kali untuk memastikan bahwa benar Mitsuki kini sedang berlinang air mata. Manik besar Mitsuki berkilau dengan butiran air di pelupuk mata. "Nii-san...?"
Kekagetan Iori mengambil perhatian teman-temannya yang lain. Melihat Mitsuki yang menangis, mereka bergegas mendekatinya. "Mitsuki-san, apa ada yang menyakitimu??" Sougo bertanya dengan wajah panik.
"Bu-bukan... Ugh... aku hanya merasa bersalah pada anak itu...," Mitsuki memang mudah tersentuh. Iori merasa bodoh berpikir kakaknya akan baik-baik saja. "Pagi ini... aku merasa bersyukur... ka-karena bertemu anak itu... ta-tapi... gh... dia malah menderita di rumahnya sekarang...,"
Mata Iori menyipit. Manik biru laut Nagi ikut berkaca-kaca, menangis tersedu-sedu sembari memeluk Mitsuki. "Huweeee... Mitsukiiiiiii...,"
"Nagi-kun...?! Ugh...,"
Yamato tersenyum kikuk. "Sou, jangan bilang kau juga akan menangis?"
Sougo yang matanya sudah basah menoleh. "Ti-tidak!" sangkalnya penuh kebohongan. Bersamaan dengan itu Tamaki merengek sambil ikut memeluk Mitsuki "Huweeee... Mikki...!!"
Iori membuang napas berat. "Yotsuba-san, kenapa kau menangis?"
Tamaki yang sebelumnya menghayati dalam acara menangisnya berhenti, mengangkat wajahnya dengan ekspresi lugu. "Aku menangis karena Mikki, Nagichi, dan Sou-chan menangis. Apa ini perlombaan menangis? Apa aku akan mendapatkan hadiah kalau menangis keras-keras?"
Iori memutar bola matanya jengah. Dia sudah tahu jawabannya pasti tidak akan jauh-jauh dari situ. Kabar bagusnya Mitsuki berhenti menangis. Kabar buruknya sebuah cubitan mendarat di kedua pipi Tamaki. "Aaaw...!! Mikki...!!!"
Mitsuki tidak terganggu dengan rintihan Tamaki, dia berganti menangkup wajah Tamaki dan menariknya mendekat agar mata mereka berdua sejajar. Bibir Tamaki yang mengerucut mengeluarkan protes kecil. "Mikki...?!"
"Tamaki, dengarkan aku! Kau tahu bukan semua orang termasuk kita terkena kutukan?"
Iori bertaruh Tamaki tidak tahu.
Tamaki menggeleng. Iori menang.
Mitsuki menarik napas pendek. Sebagai ibu di kelompok bodoh ini dia harus bersabar. "Katakan padaku apa warna puding itu abu-abu?"
Tamaki menggeleng. "Apa warnanya?"
"Kwuning,"
Mitsuki mengangguk bangga. "Tapi semenjak masuk akademi warnanya berubah bukan?"
Butuh waktu sebelum akhirnya Tamaki mengangguk. "Tidak hanya puding, tapi lingkungan sekitarmu juga tidak berwarna bukan. Bahkan rambutmu dan rambut Aya!"
Dahi Tamaki terlipat, pelan melepaskan wajahnya dari tangan Mitsuki. "Mikki, terlalu berputar-putar. Kalau itu aku tahu! Namanya hadiah,"
"Hah?!" tidak hanya Mitsuki yang terkejut mendegar pernyataan Tamaki. Iori, Sougo, dan Yamato termasuk Nagi yang masih menempeli Mitsuki berekspresi kaget. "Apa kau mengarangnya, Tamaki-kun?" Sougo bertanya ragu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Another Note [Olympuss Magic] [AU IDOLiSH7] (END)
FanfictionHey, itu semua hanya hasil kebosanan para leluhur. Jatuh pada takdir? Sepertinya bukan. Di dunia dengan hanya ada warna hitam dan putih, mereka mau tidak mau harus mencari sosok apel yang dapat melepaskan kutukan mereka. Iori tidak percaya, tapi beg...