---//---
Iori meledak sesaat. Detak jantungnya begitu keras dan cepat sampai dia pikir sewaktu-waktu bisa lepas dari rongga. Perutnya yang hanya terisi sarapan bergejolak mengetuk tenggorokan untuk menyediakan akses keluar. Iori pikir seluruh tubuhnya gemetar entah menahan amarah atau serangan kecemasan.
Ah, ini pertama kalinya dia merasakan sisi lemah.
Kepalanya yang sudah baikan kembali disambangi pening. Iori tidak ingat apa yang terjadi setelah membentak Tamaki. Berat sekali mengakui kalau dia memang kehilangan kendali saat itu. Jujur Iori juga tidak tahu kenapa dia bisa semarah itu pada Tamaki. Sepertinya dia dan Tamaki saling berteriak sampai akhirnya Banri yang datang bersama Yuki menyeret mereka ke ruangan kepala akademi. Setelah itu kedua pengajar yang mengantar mereka langsung melesat keluar— tentu saja dengan peringatan pendek untuk menjaga sikap atau jangan pergi sampai mereka kembali— meninggalkan Iori dan Tamaki disituasi canggung.
Iori membuang napas berat, bersandar di sofa empuk dengan ekspresi masam setelah emosinya meluap-luap. Tamaki duduk di sofa yang sama, tapi memberikan jarak di tengahnya. Murung.
Merasa perasaanya lebih tenang Iori menarik napas dan mengembuskannya pelan sambil menutup mata. Semuanya harus kembali di bawah kendali. Iori menoleh ke arah Tamaki. "Yotsuba-san, apa kau sudah gila?"
Ah, dia salah memilih kalimat sepertinya.
Tamaki spontan langsung mendelik tak terima pada Iori. Alisnya tertekuk marah. "Apa maksudmu, Iorin?!"
Yah, tidak mengherankan melihat Tamaki yang meledak lagi. Bukan salah Iori 'sih. Dia hanya mengatakan apa yang terlintas di pikirannya. Tidak ada beda memang dari saat mereka bertemu tadi, tapi Iori mengganti nada suaranya kok. Tanpa emosi. Iori memijit pelipisnya mendesah letih. "Apa yang kau lakukan di sana? Yotsuba-san, aku tidak pernah menyangka kau benar-benar pergi ke sana untuk kotak pandora,"
"Aku tidak paham maksudmu, Iorin," Tamaki tampaknya paham kalau Iori salah paham. Intonasi suaranya tidak menggebu-gebu seperti yang pertama. Tamaki menarik napas singkat. "Siapa yang mau masuk ke tempat menyeramkan itu lagi? Aku tidak tertarik dengan kotak ajaib yang kita bicarakan kemarin. Sama sekali tidak!"
Masuk akal. Jujur Iori sendiri juga tidak sudi pergi ke sana lagi. Tamaki memang terkadang bisa melakukan hal-hal di luar nalar, tapi dia tidak senekat itu melawan rasa takutnya. Sial. Terlalu fokus pada Tamaki, Iori jadi tidak sempat mengamati lebih luas keadaan sekitar. Iori merutuki kebodohannya.
"Lalu apa yang kau lakukan di sana? Apa kau yang membuka pintunya?" tanya Iori berharap mendapatkan sesuatu yang menarik. "Bukannya kau pulang bersama Nanase-san?"
Tamaki kembali menjadi dirinya sendiri bersandar sampai akhirnya berbaring di sofa. Iori sedikit terganggu tingkah laku Tamaki sekarang. Memilih bersabar dan beringsut menggeser tubuhnya memberikan ruang lebih untuk Tamaki. "Rikkun pulang sendiri. Aku pergi mengambil puding dari Sou-chan, tapi semuanya habis dimakan Yama-san— menyebalkan— aku berputar mencari di kantin tapi tidak ketemu— Ibu kantin pasti menyembunyikannya karena perintah Sou-chan—"
"Bukannya itu karena Yotsuba-san selalu menunda pembayaran?" cibir Iori. Tamaki merengut. "Kalau Iorin jahat begitu, aku jadi malas bercerita,"
Iori memutar bola matanya kesal. "Aku bahkan sudah berbaik hati menghaluskan istilah berhutang. Tidak ada kata berhenti,"
Giliran Tamaki yang mencibir sejenak. "Tidak mendapat puding aku malah bertabrakan dengan orang aneh. Dia berlari saat aku terjatuh— sakit sekali— aku pikir harus meminta ganti rugi jadi aku mengejarnya,"
Orang aneh? Apa mereka berdua mengejar orang yang sama? Waktunya bisa jadi bersinggungan. Tamaki tidak langsung pergi dan Iori juga menunda kepulangannya. Kemungkinan besar saat Iori mengejar dan kehilangan jejaknya Tamaki bertemu dengan orang yang sama. "Kau mengejarnya sampai ke depan ruang bawah tanah, tapi kenapa pintunya terbuka? Apa orang itu memang sengaja pergi ke sana atau kau membuatnya terpojok?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Another Note [Olympuss Magic] [AU IDOLiSH7] (END)
FanfictionHey, itu semua hanya hasil kebosanan para leluhur. Jatuh pada takdir? Sepertinya bukan. Di dunia dengan hanya ada warna hitam dan putih, mereka mau tidak mau harus mencari sosok apel yang dapat melepaskan kutukan mereka. Iori tidak percaya, tapi beg...