---//---
Kembali ke masa serangan pertama diluncurkan. Bersamaan dengan debu yang terbawa angin malam mengempas wajah Iori. Iori menggerutu singkat dalam hati berniat menyerahkan selimut berat yang menimpanya. "Nanase-san, ini...,"
"Nanase-san?" tanya Iori bingung melihat pengguna sihir apollon di hadapannya berjongkok sambil menutupi hidung dan mulut dengan kedua tangan. Riku tertawa kaku. "Maaf, aku tidak tahan dengan debu. Aku mudah batuk dan sesak napas,"
Menyebalkan.
Bagaimana orang ini bisa menjelaskan pembahasan seperti itu dengan ekspresi lugu nan dungu. Itu masalah serius. Debu sudah menjadi bagian dalam alam semesta. Akademi memang tidak boleh diragukan kebersihannya, tapi tetap saja resiko hempasan debu sangat besar. Bukankah lebih aman kalau Riku tetap di istananya? Iori benar-benar tidak bisa memahami pemikiran Nanase Riku. Apa yang kalu pikirkan? Kenapa kau begitu ingin pergi ke akademi?
Apa ada harta karun istimewa yang ingin kau cari di sana?
Ck. Iori berdecak kesal memakaikan Riku selimut tebal yang tadi mendarat di kepalanya dengan tak sopan. "Katakan padaku, kenapa kau ingin pergi ke sana? Bukankah lebih baik kalau kau tetap di sini dan hidup aman?" tanya Iori serius.
Riku membalas tatapan Iori. Lembut dan tenang. "Apa kau bahagia melihatku terkurung di sini selamanya?"
"Kalau Nanase-san terjamin aman itu bukan masalah," jawab Iori.
Riku mengembuskan napas pendek. Mendongak menatap angkasa yang kini diiringi kilatan cahaya petir dan suara guntur menggelegar. Selimut yang sebelumnya menutupi kepalanya merosot ke bahu. Iori sangat dekat dengannya, dia bisa merasakan kesepian Riku. "Aku serakah,"
"Huh?" alis Iori tertekuk tanpa sadar melontarkan bentuk kebingungannya. Riku kembali menatap Iori serius. "Aku bilang aku serakah. Aku tidak mau hidup dalam sangkar. Aku tidak puas pada kehidupan seperti itu. Aku mau terbang bebas dan menjalani kehidupanku di luar sana, tanpa perlindungan dari dinding-dinding yang membuatku nyaman dan aman. Dari pada hidup di sini ribuan tahun, aku lebih baik mati muda di luar sana," kata Riku menggebu-gebu.
Iori mengerjap canggung. Pancaran kesungguhan Riku yang tak pernah dia rasakan di kehidupannya sangat menganggu perasaan Iori sekarang. Tanpa sadar tangan mereka berdua sudah bertautan dan jantung Iori dipastikan memiliki ritme yang sama dengan Riku.
Jujur Iori membenci dirinya sekarang. Perasaan asing yang membuatnya kehilangan akal dia biarkan menguasai tiap tingkah laku dan pikiran Iori.
"Kau suka menggunakan pengandaian kematian?" Iori mendengus geli. "Bukan begitu... hanya itu yang bisa aku pikirkan," Riku menggeleng melepaskan genggamannya dari tangan Iori. Tersenyum canggung.
Ah, Iori pasti sudah kehilangan akal begitu mendapati dirinya terkekeh gemas. Mari biarkan kegilaan ini berlanjut. "Kalau Nanase-san memang ingin pergi ke akademi aku terpaksa mendukungmu,"
Riku mengangkat wajahnya yang cemberut. "Kenapa terpaksa??"
"Bukankah kau terlalu serakah sekarang?" tegur Iori sinis. Riku makin merengut. "Dengarkan ini baik-baik, aku hanya mengatakannya sekali," Angin menerpa mereka berdua berkat Tenn yang menggila. Iori tidak perlu mencemaskan Mitsuki dan yang lain sekarang. Mereka tidak akan mati dengan mudah.
Iori menarik selimut yang sekarang sudah terkapar di lantai, memakaikannya kembali, kali ini membelitkannya sampai hanya kedua manik Riku yang terlihat. "Aku akan menunjukan dunia yang kau inginkan,"
Senyum terbit di wajah Iori melihat manik merah itu membola. Sangat cantik dan istimewa. "Baik perkataanku atau Nii-san atau yang lain tidak akan cukup. Kalau kau mau aku membuktikannya, datang ke akademi. Aku janji," Iori tersenyum tulus yang lebih terlihat dari biasanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Another Note [Olympuss Magic] [AU IDOLiSH7] (END)
FanfictionHey, itu semua hanya hasil kebosanan para leluhur. Jatuh pada takdir? Sepertinya bukan. Di dunia dengan hanya ada warna hitam dan putih, mereka mau tidak mau harus mencari sosok apel yang dapat melepaskan kutukan mereka. Iori tidak percaya, tapi beg...