---//---
Sudah hampir berapa lama Iori mendapatkan warna pada maniknya? Tepatnya dia tidak tahu, tapi tidak mungkin ‘kan kalau dia melupakan bagaimana dia terbebas dari dunia hitam putih? Sensasi ketika warna bagaikan hujan deras menerpanya adalah sebuah pengalaman yang benar-benar tak terlupakan.
Lucu sekali kenyataan bahwa dunia hitam putih yang dia rasakan lebih dari dua tahun tidak berbekas diingatannya lagi. Kenangan bagaimana dia menghabiskan waktu dalam masa kemuraman sudah tak terasa lagi.
Dia benar-benar lupa bagaimana matanya memandang dunia hitam putih dulu.
Mungkin Iori sudah terbuai dalam semesta yang dari awal sudah dicat dengan baik.
Jangan ingatkan Iori kalau dirinya sendiri pernah berpikir tidak apa-apa dan terbiasa dengan kesuraman warna monoton.
Yah, harus Iori akui dirinya memang awalnya tidak mempermasalahkan kutukan itu. Kehidupannya yang terus berjalan semestinya memang tidak buruk dan Iori juga sadar harus tetap melakukan yang terbaik dengan itu, tapi tanpa dia sadari sebuah pemikiran yang tidak terduga datang padanya.
Semesta yang bersinar dan penuh warna lebih baik dari takdir hidup sempurnanya.
Juga kau ada di sana dan jauh lebih cantik bersanding dengan ribuan warna dunia.
Iori tidak ingat dirinya pernah berdoa pada alam semesta atau angkasa untuk mengirimkan berkat lain dalam kehidupannya, tapi bintang bercahaya itu muncul tiba-tiba dan waktunya yang membeku, mencair seperti sebuah keajaiban.
“Kau juga begitu, bukan? Tidak punya pilihan lain selain mengikuti ‘takdir’. Ya, kau ada hanya untuk memenuhi takdir itu,”
Iori mengembuskan napas pelan. Tidak ada yang tahu kenapa mereka terlahir. Semuanya. Mereka tidak tahu alasan kenapa yang ‘ada’ itu ada dan yang ‘tidak ada’ itu tidak ada. Memangnya siapa dia berhak memikirkan dan memutuskan kenapa dia terlahir…
Nyatanya Iori lahir agar mencari tahu untuk menemukannya dan baginya sekarang dia terlahir untuk menenggelamkan Riku agar anak itu kembali ke akal sehatnya. “Aku tidak terlahir untuk mengikuti takdir, Nanase-san. Aku terlahir untuk menciptakan takdirku sendiri,”
Alis Riku terangkat tertarik mendengar jawaban Iori. Maniknya berkilat dengan pantulan biru muda angkasa. “Begitukah? Iori, apa kau berubah? Seingatku terakhir kali kau mengikuti takdirmu sebagai pemilk sihir athena. Tidak bisa memilih hidup sendiri dan hanya terseret ke sana kemari,”
“Karena aku memilih begitu,” Iori menatap lurus ke arah mata cantik itu yang sorotnya masih tak berubah.
Riku menganggukan kepalanya pelan. Iori berdehem menyingkap poninya dengan jari-jari yang basah. “Jangan salah paham. Meski hanya mengikuti semuanya tetap ada pilihan dan semuanya tetap kita yang memilih. Apa kau masih berpikir itu hanya mengikuti? Bagiku pilihan dan memilih adalah hal yang menciptakan takdir,”
Iori memalingkan wajahnya menerawang ke dimensi luas tak berujung. “Sama seperti aku memilihmu…,”
Ah, memalukan mulutnya terus berucap padahal Iori sudah berniat hanya menyuarakannya dalam hati. Dia jadi penasaran sudah berapa kali dia dikhianati tubuhnya sendiri. Padahal dia berhasil menahannya agar setidaknya tak sampai di telinga Riku, tapi pendengaran si surai merah tetap menangkapnya. Riku terkikik geli. “Pada awalnya kau pun memilihku karena sihir—”
“Itu tidak benar,” potong Iori cepat. Merasa terlalu berlebihan Iori berdehem sambil membetulkan kerah seragamnya yang lepek. “Maksudku aku pernah memikirkannya begitu, tapi kau mengubahnya, Nanase-san…,”
Mereka berdua terdiam. Riku mengalihkan pandangannya pada awan-awan yang berkejaran di atas langit. Sangat putih dan cantik. Iori sendiri tak bergerak dan lagi-lagi memilih mengamati anak rambut yang bergerak lemah tersapu angin. Tanpa menoleh Riku berkata pelan. “Mungkin… mungkin tidak hanya dirimu yang berubah Iori… aku juga merasakannya,”
KAMU SEDANG MEMBACA
Another Note [Olympuss Magic] [AU IDOLiSH7] (END)
FanfictionHey, itu semua hanya hasil kebosanan para leluhur. Jatuh pada takdir? Sepertinya bukan. Di dunia dengan hanya ada warna hitam dan putih, mereka mau tidak mau harus mencari sosok apel yang dapat melepaskan kutukan mereka. Iori tidak percaya, tapi beg...