21

632 175 17
                                    

Suara deringan ponsel itu masih terdengar dan nama yang terlihat di layarnya tidak membohongi penglihatan (Name). Tatapan beralih ke pintu, jantung (Name) berdetak kencang karena dia takut jika Bokuto mendengarnya dan akan segera ke kamar untuk mengambilnya.

(Name) tidak ingin mengalami hukuman Bokuto yang membuatnya berakhir dengan tidak diberi makan selama beberapa hari, sebabnya karena (Name) pernah mencoba pelariannya.

Berdiri dari ranjang, (Name) mendekati pintu kamarnya lalu mendekati telinganya di pintu. Samar, dia bisa mendengar Bokuto yang masih ada di kamar mandi. Suara air terdengar karena tempat yang mereka tinggali ini hampir sunyi jika para burung-burung itu tidak berkicau.

Jika (Name) punya waktu untuk mengangkat telpon itu dan memberitahu pada Akaashi bahwa Bokuto yang menculiknya. Dia bisa selamat dari sini lalu menghapus riwayat telpon itu agar tidak terlihat mencurigakan.

Ya, itu benar! Rencana yang sempurna dalam kesempatan seperti ini.

Mengambil ponsel itu, tangan (Name) bergetar karena perasaannya yang campur aduk. Gelisah. Ragu. Senang.

Menggeser ikon hijau untuk mengangkat. (Name) mendekatkan ponsel itu ke telinga kirinya.

"Moshi, moshi Bokuto-san. Dimana sekarang? Semua orang sudah menunggu."

Mendengar suara Akaashi itu, (Name) sulit mengontrol emosinya yang berakhir dia menangis. Setelah terkurung hampir dua bulan di sini. (Name) bisa mendengar suara orang lain. Suara dari orang yang dia rindukan.

"Bokuto-san? Halo? Kenapa diam saja?"

Sadar akan Akaashi yang menunggu jawaban. (Name) membuka mulutnya untuk berbicara namun tepukan tangan di bahu (Name) membuat dia menghentikan aksinya.

"Berikan ponselnya padaku," bisik Bokuto di samping telinga (Name).

Kapan dia masuk? Kenapa (Name) tidak menyadarinya? Apa Bokuto pura-pura tidak mendengar ponselnya dan melihat apa yang akan dilakukan (Name)?

"A-a-aku ti-"

"Sshh.." Bokuto menaruh jari telunjuknya di depan bibir (Name). Hangat badan Bokuto sehabis mandi dan air yang masih menempel di badan Bokuto membuat piyama yang dipakai (Name) basah.

"Tidak perlu bicara berikan ponselnya padaku, (Name)-chan."

Haruskah (Name) berikan ponselnya kepada Bokuto? Lalu bagaimana dengan rencana yang tadi dia buat? Kenapa disetiap kesempatan ini selalu berakhir menyudutkan (Name)?

"Bokuto-san? Apa kau baik-baik saja?"

"(Name)-chan," geram Bokuto agar menekankan (Name) untuk memberikan ponselnya itu. Kesabarannya habis karena gadis (hair color) di depannya ini terlalu lama berpikir.

"(Name)-chan be-"

"AKA-!"

Bokuto mencekik leher (Name) ketika (Name) berteriak. Tangan (Name) melepas pegangan pada ponsel yang sekarang beralih untuk menyelamatkan diri dari cekikan Bokuto.

"Kau membuatku marah, (Name)-chan."

"Bokuto-san?! Siapa yang berteriak tadi?"

Bokuto mendorong (Name) lalu melemparnya ke atas ranjang. Lalu dia mengambil ponselnya dan menjawab pertanyaan Akaashi di luar kamarnya.

"Akaashi! Itu tadi ibuku! Dia kaget melihat kecoa tadi," jawab Bokuto dengan nada cerianya lalu menutup pintu kamar dan tidak lupa menguncinya.

(Name) terbatuk-batuk hingga hidung dan matanya memerah karena cekikan Bokuto itu hampir membuatnya pingsan. Mengelus bekas cekikan itu, (Name) mengerut kesal karena ini akan meninggalkan bekas dan denyutan rasa sakitnya masih terasa.

Kesempatan dalam kesempitan itu bukanlah rencana bagus. (Name) harus berhati-hati dalam memilih.

―――――――
 
bersambung

𝐒𝐢𝐠𝐧 | B. KOUTAROTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang