02

1.7K 344 17
                                    

"Kalian sudah lama berkenalan?"

(Name) mengangguk untuk mengkonfirmasi pertanyaan Bokuto. Mereka― bersama Akaashi yang ada di tengah untuk menjadi pemisah, berjalan bersama untuk pulang. Suasana pulang terasa lebih hangat dengan Bokuto yang super berenergi itu. Seperti dia tidak mengenal kata lelah.

"Akaashi! Kenapa aku jarang melihatmu bersama (Last Name)-chan?"

Akaashi menoleh ke samping, "sebab (Name)-chan jarang bersamaku di sekolah. Dia juga punya teman."

"Aww, Keiji-kun," tangan (Name) menyentuh bagian jantungnya. "Itu sangat menyakitkan. Apa Keiji-kun merasa kesepian?"

"Tidak," jawab Akaashi dengan helaan nafas. Bukannya bermaksud kasar pada gadis yang sudah dia anggap sebagai saudarinya itu, tapi memang benar adanya jika (Name) dan dia memiliki kehidupan mereka masing-masing di sekolah. Bukan berarti mereka selalu harus terlihat bersama.

"Akaashi! Bukan hal yang baik mengabaikan (Last Name)-chan seperti itu!" protes Bokuto. "Harusnya kau berada di sampingnya sebagai teman yang baik!"

Akaashi hanya mengangguk karena dia sudah lelah untuk berurusan dengan ceramahan dan perkataan protes Bokuto yang sudah dia hadapi hampir setiap hari.

(Name) melihat interaksi mereka yang unik itu tersenyum. Jarang-jarang Akaashi mau bersama orang yang bersuara keras seperti Bokuto. Setahu (Name), Akaashi itu tidak ingin merepotkan dirinya sendiri.

"Eh? Jalannya ditutup?"

Mereka berhenti ketika melihat tanda peringatan bahwa jalan yang biasa mereka lewati kini sedang diperbaiki. Padahal jalan ini yang sering diambil untuk sampai ke stasiun kereta agar mereka tak berputar.

"Kita ambil jalan yang jauh kalau begitu."

"Mmm, tapi sebentar lagi gelap. Masih sempat?" tanya (Name) sambil mengejar langkah dua pemain bola volli di depannya. Tidak tau kah kalau kakinya ini pendek?

"Tentu saja sempat! Jika kita berjalan lebih cepat!" jawab Bokuto lalu mempercepat langkahnya dan dadanya yang bidang itu mengembang percaya diri.

"Abaikan dia, (Name)-chan. Jalan di sampingku saja."

Jalan yang mereka ambil ini agak berbelok dan melewati beberapa gang yang sepi. Padahal masih belum terlalu lama matahari terbenam tapi suasanya begitu menyeramkan. Namun, tidak untuk Bokuto. (Name) memperhatikan Bokuto yang menceritakan permainan bola vollinya itu seperti cahaya senter yang menerangi jalan (Name) dan Akaashi saking bersemangatnya kakak kelas mereka ini.

"Lalu aku juga punya teman dari Nekoma! Nam― cough, cough!!"

Bokuto terbatuk ketika berbelok lalu menutup hidungnya. (Name) dan Akaashi langsung mendekatinya dan bertanya apa baik-baik saja. Di depan mereka ada sekelompok pria yang sepertinya pengangguran dan sedang merokok, ada botol-botol bekas minuman keras yang berantakan di jalanan. (Name) menebak umur mereka antara dua puluh lima sampai tiga puluh.

"Cih, tidak tahan dengan asap rokok?" ucap salah satu dari mereka lalu menghembuskan asapnya. Teman-temannya yang melihat tertawa.

"Maaf, sudah menganggu. Kami hanya ingin lewat saja," ucap Akaashi.

"Cough, cough! Aku benci asap rokok ini," tangan Bokuto mengipas di depan wajahnya agar hidungnya tidak menghisap asap rokok yang mengepul tebal seperti kabut.

Mereka tidak menjawab dan membiarkan ketiga remaja itu lewat sampai tas yang (Name) gendong itu ditarik oleh pria yang tadi mengejek. "Kalian berdua boleh lewat. Tapi tidak dengan yang satu ini."

"H-hah?!! A-apa maksudmu?!" (Name) menarik tasnya agar tidak dipegang oleh tangan kotor pria itu.

"Lepaskan (Last Name)-chan!" teriak Bokuto lalu memegang erat pada pergelangan tangan pria itu. Matanya yang berwarna emas seperti burung hantu itu terlihat tajam seperti pemangsa.

"Lalu kau akan apa? Kalian berdua pergi saja sana!"

"Bokuto-san, lebih baik kita mencari bantuan," ucap Akaashi sambil memperhatikan para pria yang sekarang sudah mendekati mereka.

"Tidak. Kita akan menghabisinya di sini," dalam sekali kedipan Bokuto melepas pegangan pria itu lalu menjadikan dirinya benteng untuk (Name). Agar dia tidak terluka. Akaashi mendekat ke posisi Bokuto.

"Bokuto-san kita tidak bisa mela―"

"Benar. Turuti temanmu itu, rambut aneh."

"Bokuto senpai, lebih baik kita lari saja," pinta (Name) sambil memeluk tasnya. Dia tidak ingin mereka terluka hanya karena melindunginya. (Name) sendiri juga tidak yakin kalau mereka mempunya kemampuan bela diri untuk melawan para pria dewasa di depannya.

Bokuto maju selangkah lalu membuka jasnya dan membiarkannya tergeletak di atas jalanan yang kotor. Sifatnya yang biasa ceria itu berubah drastis, nyaris Akaashi yang dibilang lama mengenalnya seperti melihat sisi Bokuto yang baru.

"Akaashi, telpon polisi. Aku yang akan membuat mereka pingsan."

"Ha, lucu sekali, rambut aneh!"

Salah satu dari mereka meluncurkan tinju ke bagian perut dan Bokuto berhasil menghindarinya lalu tanpa menunggu lama kaki Bokuto menendang ke atas dadanya dan menyikut punggungnya. Melihat salah satu dari mereka tumbang karena Bokuto, mereka mulai mengeroyoki Bokuto.

"(Name)-chan aku akan membantu Bokuto-san," ingin melarang Akaashi untuk ikut bertarung tetapi tidak bisa. (Name) tahu Akaashi tidak bisa diam saja jika Bokuto terluka sendirian.

Mencari ponselnya yang ada di dalam tas, tangan (Name) bergetar karena ketakutan karena suara erangan sakit keluar dari dua temannya. Setelah terangkat, (Name) segera memberitahu polisi yang ada di telpon tentang perkelahian yang terjadi.

Selesai melapor, badan (Name) terperanjat mendengar suara tubuh yang jatuh keras ke jalanan. Dia berbalik dan melihat Akaashi serta Bokuto yang dimana seragam mereka sudah kusut dan kotor, ada luka lebam di pipi dan tangan mereka yang memerah. (Name) mendekati keduanya dengan pandangan khawatir.

"Keiji-kun! Mana yang sakit?" tanya (Name) lalu mengecek badan Akaashi.

"Sepertinya baik meski pusing, tolong cek Bokuto-san dulu," jawab Akaashi lalu duduk untuk menjaga badannya agar tidak terjatuh. Pukulan tadi hampir membuatnya pingsan.

(Name) menoleh ke arah Bokuto, dia sudah memakai jas sekolahnya kembali. Rambutnya agak turun ke bawah dan bibirnya terlihat ada goresan yang menimbulkan darah.

"Bokuto senpai! Jangan memaksakan diri jika masih sakit."

Bokuto tersenyum ke arah (Name) seperti sifatnya kembali lagi. "Tidak apa-apa. Meski sakit yang penting (Last Name)-chan tidak terluka! Akaashi juga membantuku!"

(Name) menggelengkan kepalanya lalu membuka tasnya kembali dan mengeluarkan pembalut luka yang bermotif. "Aku akan menutupi luka kalian berdua sebentar."

(Name) memegang tangan Bokuto yang lebih besar dari miliknya itu. Jari-jarinya terlihat memerah dan banyak goresan entah dari efek main bola volli atau pertarungan tadi. (Name) menutupinya dengan pembalut lukanya.

Sedangkan Bokuto, dia mematung di tempat. Dia merasa istimewa diperlakukan (Name) seperti ini ditambah lagi pandangan kedua manik (eye color) yang khawatir bercampur peduli itu membuat dada Bokuto menghangat. Dia.. menyukai ekspresi (Name).

"Selesai, Keiji-kun mana tanganmu?"

Lamunan Bokuto buyar setelah mendengar suara seperti peri laut. Bahkan lebih indah dari itu. Tangan Bokuto yang satu lagi mengusap pembalut luka yang bermotif hewan lucu itu yang entah kebetulan atau tidak adalah burung hantu.

Bokuto tidak bisa menyembunyikan senyumnya sambil mengingat lagi ekspresi (Name) yang terus diputar dikepalanya. Lalu, dia kembali memandang punggung (Name) yang dia harap bisa dia peluk itu.

―――――

bersambung

𝐒𝐢𝐠𝐧 | B. KOUTAROTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang