15- Petir alarm waktu yang kian habis

6.8K 930 66
                                    



Rajuna terbangun saat tiba-tiba ngilu didada kirinya mulai berulah. Ia melirik jam di atas nakas yang masih menunjukan pukul dua pagi dengan suara bising serangga yang mengusik. Ia melirik jendela dan merasakan betapa sepinya malam ini.

Sambil kembali merasakan detakannya, Rajuna berusaha mengatur nafas. Perutnya tiba-tiba terasa mual, tubuhnya pun entah mengapa makin terasa berat. Hingga sampai nyeri yang terasa makin menjadi, ia meraih knop laci dan membuka isinya sampai-sampai mengacak isi lacinnya sampai berantakan sebelum akhirnya ia tersadar, bahwa benda yang ia cari sudah ia buang dan sore tadi ia tidak bertemu dengan Terri sebagai keseriusannya terhadap apa yang sudah ia katakan kepada Ayah agar beliau berhenti minum-minum.

Sialnya, dada Rajuna makin terasa ngilu hingga membuatnya merenggut kesakitan. Ia meremas dadanya kuat hingga keringat dingin didahinya tidak sempat lagi untuk ia seka.

Berkali-kali Rajuna melirik ke arah pintu, berharap sang Ayah menemukan ia tengah kesakitan, namun ekspektasi hanyalah ekspektasi, Ayah tidak akan ke kamarnya bila tidak ada perlu atau sekedar ingin membuang botol obatnya. Berkali-kali terbatuk, Rajuna memutuskan keluar, niatnya untuk menegak sedikit air untuk membasahi tenggorokannya yang kering.

Sambil menopang tubuhnya sendiri di dinding, Rajuna melihat Ayah masih sibuk bergulat dengan laptopnya didepan TV yang menyala. Melihat tidak ada botol minuman alkohol di atas meja, diam-diam Rajuna tersenyum simpul lalu melanjutkan perjalanannya ke dapur dengan susah payah.

Sedangkan di ruang TV, Reihan sempat berhenti bermain dengan keyboard laptop saat mendengar suara batuk Rajuna bergema di dapur dengan bunyi-bunyi piring bergesekan. Ia bahkan terdiam hanya agar dapat mendengar kegiatan yang dilakukan Rajuna disana. melirik sekilas saat anak itu berjalan perlahan dengan segelas air ditangan, berusaha meraih meja makan dengan tangan bergetar.

Reihan seketika bangkit saat anak itu menjatuhkan gelas berisi airnya dan batuk yang awalnya kecil kini semakin menjadi-jadi. Belum lagi tangan kanannya sudah meremat dada kirinya kuat dengan bekas-bekas keringat dipelipis.

"Rajuna!" panggil Reihan.

Anak itu tidak menjawab, masih menunduk masih mencoba memijit dadanya sebelum akhirnya ia jatuh tergeletak menabrak kursi dengan keras. Reihan yang dari tadi masih menonton sontak melompat dari tempatnya, berlari menghampiri Rajuna yang sudah pingsan dengan wajah pucat pasi dan keringat dingin disekujur tubuh.

Mencoba tenang, Reihan medial nomor Terri dengan jemari bergetar. Biasanya ia akan membantu Rajuna menelan obat, namun begitu tau anak ini tadi tidak menjumpai Terri, Reihan lantas bingung harus berbuat apa.

Ditambah ini masih jam dua pagi.

"Halo?"

"Terr! Rajuna pingsan!"

"HAH?! Tenang, Pak. Sekarang saya kirim ambulans ke sana, sementara lakukan CPR sampai saya ke sana, oke?"

"Saya gak pernah lakuin CPR!"

"Tolong tenang! Saya mohon...sekarang posisiin Rajuna telentang. Cepat!"

Dengan nafas memberat, Reihan membantu sang putra berbaring lurus diatas lantai dengan tangan gemetaran.

"Sekarang taruh satu telapak tangan ditengah dada Rajuna, habis itu tangan satunya lagi, eratkan. Pompa dada Rajuna 5-6cm ke bawah. Pak Reihan?? Bisakan? Saya mohon, kalau gak Rajuna gak akan ketolong," ujar Terri dengan nada bergetar. Suaranya masig agak serak, mungkin baru bangun tidur.

Sedangkan Reihan sedang berada di ambang rasa bimbang. Ia yakin saat ini ia tengah takut, bahkan hanya melihat wajah pucat Rajuna yang membeku didepannya saja cukup memacu detak jantungnya hingga menggila.

ECHO IN THE FOREST ✔ [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang