Ada saatnya, saat awan-awan hitam bergeser pergi dan tidak lagi menghalangi birunya angkasa dipertengahan hari. Bukannya ia tidak akan kembali lagi, ia hanya memberi jeda, lalu kembali menghujami bumi dengan triliunan ton air yang ia tampung lewat uap air yang juga berasal dari bumi. Fenomena ini disebut; siklus.
Kehilangan Rajuna bukanlah sebuah malapetaka, hanya saja bila kehilangannya untuk kali kedua mungkin sanggup memecah belah dunianya. Satu kali, dua kali melihat Adiknya tumbang dan sekarat saja sudah mampu menghancurkan hati—lalu bagaimana bila ia benar-benar kehilangan? Akankah gerimis kecil itu benar-benar akan berubah menjadi hujan badai? Untuk kali ini, Gatra membenci teori siklus tersebut.
Berbeda dengan Gatra, Reihan punya luka mendalam soal orang tua. Entah mengapa, tidak bisa membuktikan bahwa ia adalah orang tua yang dapat membawa putra-putranya berkilau meski tanpa kata-kata menyakitkan seketika gagal begitu Rajuna lahir ke dunia. Tidak seperti Gatra yang lihai mengendalikan bola dilapangan atau mengikuti banyak organisasi yang membawa namanya melambung hingga provinsi, Rajuna malah menghabiskan masa kecilnya bolak-balik ICU.
Habis sudah.
Namun setidaknya, Rajuna perlu berprestasi dibidang akademik dan menampik semua perkataan sang Kakek soal kelemahannya. Anak itu berhasil menjadi juara dan memperparah kondisinya. Rajuna tidak terlahir jenius seperti Gatra, anak itu perlu berusaha lebih. Belajar hingga pagi datang dan memakan apapun yang bisa mengurangi rasa laparnya. Begitu terus hingga seorang Dokter bernama Teri menghubunginya bahwa Rajuna nyaris tidak terselamatkan.
Takut. Tapi bukan takut kehilangan. Namun bagaimana ia menjelaskan kondisi itu kepada mantan istrinya, Wenda. Bukannya makin membaik, semuanya malah berantakan. Kerjaan, kesehatan si bungsu bahkan ekspektasi orang tuanya.
Itu sudah lama saat ia terbangun di kamar, masih dengan setelah kantor dan bau alkohol yang menyengat dari mulutnya. Suara batuk terdengar nyaring bersamaan dengan suara botol kaca yang bergesekan. Saat melangkah dengan sedikit sempoyongan ke ambang pintu, disanalah ia menemukan si bungsu yang sibuk membersihkan kekacauan bahkan meski berkali-kali memukuli dadanya dan terbatuk cukup keras.
Rajuna tidak pernah menangis seingatnya. Bahkan saat ia ingat ia pernah melayangkan botol kaca ke kepalanya, anak itu tidak menangis, hanya meringis meski darah terus mengalir dari kulit kepala. Ia juga tidak pernah mengeluh tinggal bersama Ayah yang alkoholik dan juga tidak pernah peduli dengan yang ia lakukan, ia tidak pernah mengganggu, ia bahkan memecah sunyi yang menguasai seisi rumah dengan bernyanyi atau memasak di dapur. Bahkan meski ia sadar betul, kelelahan adalah musuh terbesarnya.
Namun pagi itu, Reihan melihatnya terisak. Menyingkirkan semua sampah di dalam rumah dengan tangis yang coba ia tahan namun gagal, karena semakin ia menahannya air mata itu turun dengan sendirinya.
Rajuna masih 14 tahun saat itu, tubuhnya juga masih kecil. Reihan lupa bahwa putra bungsunya masih seorang anak kecil, dulu ia bisa menangis sekuat yang ia bisa untuk mengatakan bahwa dadanya sakit, rasanya sesak, namun kini, ia hanya bisa melampiaskan semuanya dengan memukul dadanya agar rasa sesak itu hilang.
Menjadi orang tua bukanlah hal yang mudah. Reihan sadari, menjadi seorang anak dari orang tua egoispun tidak kalah melelahkan. Membuat Rajuna merasakan apa yang ia rasakan dulu membuat otaknya beku, ia harusnya tidak mengulangi dosa yang sama.
Kini rumah ini sepi. Benar-benar sepi. Rajuna tidak lagi tinggal di sini. Bau citrus yang biasanya mengelilingi rumah kini sepenuhnya hilang berganti bau lavender dari halaman. Rasanya aneh begitu ia duduk di bar mini rumahnya dan meminum teh hangat buatanya sendiri dan merenung cukup lama.
Apa yang akan terjadi semisal ia tetap membiarkan Fara membawa Rajuna ke asrama?
Apa yang terjadi bila Rajuna masih tinggal di sini bersama dirinya dan Fara?
KAMU SEDANG MEMBACA
ECHO IN THE FOREST ✔ [TERBIT]
FanfictionGema nyaring yang berdegung mengitari ruang keluarga siang itu seperti petir yang menyambar Rajuna tiba-tiba. Bukan karena kata-kata kasar nan menyakitkan yang Kakaknya Gatra pekikkan, namun masa depan yang telah ia bayangkan bersama orang-orang ter...