side story: Larajuna

2.7K 298 61
                                    

.Haidar's Perspective



MENGHABISKAN sore hari di danau seraya menikmati semilir angin senja adalah kebiasaan baru Haidar untuk membunuh hari-hari tanpa sosok Rajuna yang menemani. Tidak ada yang duduk di sampingnya di angkot dalam perjalanan pulang. Tidak ada yang menemaninya membeli kuota di Indomaret. Tidak ada lagi yang menunggunya di tepi lapangan. Tidak ada lagi yang ia cari di kelas anak IPA. Tidak ada lagi yang ia cemaskan kesehatannya. Tidak ada lagi Rajuna yang telah lama menjadi setengah jiwanya.

Bagi Haidar, patah hati ditinggalkan sahabat terkasih adalah yang paling menyakitkan, bahkan diputuskan Rani pujaan hatinya semasa SMP tidak membuatnya mengenang berlarut-larut. Mungkin sebab Rajuna selalu ada. Mungkin sebab Rajuna bukan hanya sekedar sahabat, Rajuna dan keluarga merangkulnya seolah keluarga sendiri.

Rajuna adalah satu-satunya sosok yang mengerti seorang Haidar. Tempat ternyaman, tempat teraman, tempat terbaik untuk menumpahkan segala emosi yang ia pendam. Sebab Rajuna tidak pernah mengeluh, tidak pernah menuntut bahkan tidak pernah marah jika bukan untuk kebaikan Haidar sendiri. Maka dari itu, danau sore hari ini kembali terasa sendu. Pantulan senja di atas air yang tenang itu membawa lamunan Haidar terbang jauh ke hari di mana mereka semua kehilangan sosok itu, dan Haidar tidak dapat menolong dirinya sendiri untuk tidak menangis. Karena nyatanya, melanjutkan hidup tanpa sosok Rajuna yang merangkulnya itu terlampau berat.

Isakan kecil mulai terdengar, beberapa orang yang tengah bersantai sesekali melirik. Haidar dengan baju SMA yang masih melekat dan ekspresi sedihnya yang nelangsa. Cowok itu duduk di tepian danau di atas rumput-rumput lembab sambil memandang tengah-tengah danau dengan tatapan sendu.

Pertanyaan-pertanyaan egois tidak pernah luput dari kepalanya kala langit mulai perlahan menghitam dan ia masih duduk di sana dan berusaha mengikhlaskan.

"Apa susah banget buat lo bertahan sedikit lagi, Jun? Sedikit lagi lo bisa sembuh...andai lo gak menyerah."

"Kalau aja lo bisa berjuang lebih lama, gue gak akan sendirian di sini nangisin lo! Nangisin hidup gue yang udah gak punya tujuan lagi."

"Persetan Universitas Brawijaya. Apa artinya kalau gue ke sana kalau gak ada lo? apa artinya jalan di tepi trotoar Malang kalau sendirian, Rajuna?!"

"Gue benci benci benci banget! Gue benci sama semua yang udah bikin lo sakit!"

Entah mengapa, tiba-tiba isakan itu berubah semakin kuat. Dadanya semakin sesak, isakan kecil itu perlahan menjadi erangan yang menyayat, membuat semua orang yang menatap langsung tersadar bahwa Haidar yang kini bersimpuh tengah dipeluk kehilangan.

***

"Haidar?" Abah membuyarkan lamunan Haidar yang membuat makan malamnya menganggur.

Semua orang telah menyelesaikan makan malam sebab Haidar pulang terlambat, jadi dengan suka rela Abah menemani Haidar makan di meja makan sambil membaca koran yang belum selesai ia baca tadi pagi. Haidar tidak banyak bicara, tidak minta ditemani juga, namun melihat mata merah dan bengkak putranya, Abah cukup peka untuk tidak membiarkan Haidar sendirian di saat ia tau putranya masih berduka.

"Di makan, Nak. Mau Abah suapin, kah?" Haidar menggeleng, namun sendok ditangannya masih saja hanya mengacak-acak nasi yang sudah mendingin.

Abah akhirnya mendekat, meletakkan korannya di atas meja lalu berniat menyuapi Haidar yang perlahan bergeming karena sedikit terkejut dengan tindakan sang Abah.

"Abah."

"Makan, Nak. Rajuna sedih kalau lihat kamu sakit nanti."

Abah sedikit tertegun kala Haidar kembali mulai berkaca-kaca. Takut salah mengeluarkan kata-kata atau tindakan yang terkesan memaksa.

ECHO IN THE FOREST ✔ [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang