Orang dewasa itu bodoh bagi Gatra. Mereka gampang lupa, terkadang gegabah dan ceroboh. Yang paling mengesalkan itu sikap sok tau dan egois. Sejauh ini, orang dewasa yang Gatra kenal selalu begitu. Mereka hanya membangun rumah untuk dihancurkan atau tersenyum lebar agar mendapat hubungan yang menguntungan kedepannya. Semua orang yang ia kenal seolah melupakan apa itu ketulusan.
Well, gak apa-apa sih. Hidup memang keras.
Bunda itu wanita yang paling Gatra hormati, paling Gatra sayangi dan puja. Namun saat Gatra bertanya perihal apa yang terjadi dengan keluarganya, wanita itu mendadak menjadi wanita tidak berperasaan. Banyak faktor, Gatra tau. Tapi rasa kecewanya pun tidak bisa ia tutup-tutupi. Karena apa yang sudah terjadi malah memperkeruh semuanya.
Bunda bilang, ia tidak tau kapan waktu yang tepat untuk menceritakannya. Sebentar lagi ia akan kuliah, lalu seberapa dewasa lagi Gatra untuk tau semua fakta. Bahkan meski adiknya yang belum menyentuh umur legal sudah mengetahui semuanya. Fakta bahwa hanya ia yang marah tanpa alasan seperti orang bodoh, mana bisa ia terima.
Namun kemarahannya terhadap Ayah dan Bunda seketika tertunda saat mengingat operasi Rajuna akan dilakukan dalam beberapa jam ke depan. Dokter bilang tidak perlu khawatir, kemungkinannya 98%. Namun masih ada 2% kemungkinan gagal, kan?
Jangan kaget, Gatrapun tidak ingat kapan ia secemas ini. Yang ia tau, saat anak itu berusaha diselamatkan disaat nafasnya sudah diujung, yang Gatra ingat, nafasnya ikut sesak dan seluruh tubuhnya bergetar ketakutan. Sejak saat itulah, bunyi monitor detak jantung juga bunyi nafas Rajuna yang memberat adalah instrumen paling menakutkan dimuka bumi.
"Takut ya, Kak?"
Suara pelan Rajuna adalah bunyi pertama yang Gatra dengar saat pertama ia datang ke ruang rawat ini. Bunda sedang dikamar mandi dan Ayah masih harus berkerja. Wajah pertama yang ia lihat sejak masuk ke dalam adalah wajah Rajuna yang makin mengempis dengan garis rahang yang makin terlihat jelas.
Gatra memperbaiki posisi baringnya diatas sofa, tubuhnya miring menghadap sang Adik yang kini hanya dapat menolehkan kepalanya. Tanpa menjawab, cowok itu hanya terus mengamati sang Adik dari posisinya lalu menikmati sesak yang meremat dadanya.
"Tenang aja, habis operasi semuanya normal lagi kok," ujar Rajuna dengan nada santai, meski memang suaranya makin melemah.
Lagi-lagi Gatra hanya diam sambil terus menatap Rajuna intens. Namun yang ditatap malah memalingkan muka dan memandang langit-langit, seperti saat ia pertama kali siuman.
"Bunda nangis lagi dikamar mandi," ucapnya pelan namun penuh nada menyesal. Pandangannya belum beralih dari langit-langit, namun saat semuanya sunyi, isak tertahan Bunda kembali terdengar.
Gatra sontak bangun dari tidurnya untuk menyusul Bunda didepan pintu kamar mandi yang dikunci dari dalam. Mengetuknya dua kali dan Bunda hanya menyahut seadanya, namun Rajuna benar, dari serak dan getaran yang Bunda suarakan, wanita itu menangis dalam diam.
Gatra menoleh lagi kearah adik bungsunya. Kemudian berjalan mendekat saat anak itu malah membuang wajahnya ke samping.
"Lo kenapa?" tanya Gatra.
Tanpa menoleh, Rajuna menggeleng pelan. "Lagi marah aja."
"Sama Bunda?"
Anak itu menggeleng lagi.
"Sama gue?"
Rajuna kembali menggeleng. Alhasil, Gatra membawa tubuhnya kesisi lain dimana Rajuna membuang wajahnya, kemudian duduk dikursi sembari mengamati wajah Rajuna yang sedang merajuk. Meskipun ia sendiri tidak mengerti dengan apa yang anak itu pikirkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
ECHO IN THE FOREST ✔ [TERBIT]
FanfictionGema nyaring yang berdegung mengitari ruang keluarga siang itu seperti petir yang menyambar Rajuna tiba-tiba. Bukan karena kata-kata kasar nan menyakitkan yang Kakaknya Gatra pekikkan, namun masa depan yang telah ia bayangkan bersama orang-orang ter...