Karena kemarin Gatra menjemputnya pagi-pagi sekali, habis subuhan Rajuna langsung melakukan rutinitas paginya, berhubung tidak ada asisten rumah tangga dan Rajuna yang menghandle semua perkerjaan rumah. Biasanya dia akan menyapu seisi rumah lalu mencuci baju tapi kalau banyak biasanya ia kirim ke laundry karena ia tau diri dan masih ingin hidup panjang. Dan yang terakhir, biasanya ia akan membangunkan Ayah sebelum menyiapkan sarapan untuk keduanya.
Selagi memotong setengah bawang bombai, Rajuna tidak kuasa tidak melirik tiga botol obat-obatnya yang sudah kosong itu di tong sampah. Entah mengapa terasa begitu menyesakan mengingat usahanya untuk lebih dekat dengan sang Ayah ternyata tidak ada nilai dimata beliau.
Rajuna diam sejenak, lalu melirik meja makan dengan jejak percakapan mereka semalam. Ayah masih sedingin es dan Rajuna yang masih bingung dengan letak kesalahannya dimana. Karena Bunda selalu bilang tidak ada yang terjadi, hanya perselisihan yang tidak bisa lagi dirundingkan sedangkan Ayah bilang akar perceraian mereka adalah sikap Rajuna yang terlalu egois. Dulu Gatra juga pernah bilang begitu, itulah mengapa ia terima-terima saja tinggal dengan Ayah meski Ayah adalah ketakutan terbesarnya dulu.
Meja itu selalu terlihat kosong, sekalinya Ayah disana meja itu akan dipenuhi aura kesal Ayah. Rajuna menggeleng, lalu kembali fokus pada kegiatan memasaknya sebelum Gatra datang untuk menjemputnya.
Tidak lama kemudian Ayah keluar dengan setelan pajamanya dan masuk ke kamar mandi, melewati Rajuna yang menyusun sepiring nasi goreng diatas meja lengkap dengan air putih dan kopi hitam sang Ayah.
Rajuna duduk diatas kursi saat Ayah kembali dan langsung duduk dengan koran pagi ditangan. Sebenarnya dari dulupun Rajuna ingin sekali membicarakan hal-hal serius seperti masalah atau kesalahpahaman yang sedang terjadi.
Awalnya ia diam saja, melirik jam dinding yang bergerak konstan masih lurus di angka lima lalu matanya menatap kegiatan sang Ayah yang terlihat seperti biasa. seperti pagi-pagi biasanya, ia akan bangun lalu duduk untuk sarapan atau mandi dulu sebelum sarapan dan Rajuna akan menemaninya, mendengar semua keluhannya tentang perkerjaan dan kehidupannya tanpa Bunda.
Tapi Rajuna tau ia tidak bisa terus-terusan menemani Ayah dalam kegiatan rutinnya ini. Tanpa mengucap kata-katapun Rajuna tau Ayah tidak suka dirinya berada dilingkup obsidiannya. Tapi semenjak tinggal dengan Ayah, Rajuna jadi bergantung pada beliau, bukan dalam artisan bertahan hidup tapi sosok yang mungkin saja jadi orang terakhir yang ia lihat sebelum dunia menggelap. Padahal permintaannya telampau sederhana, ia hanya ingin sekali mendengar Ayah meneriakkan namanya dalam cemas yang tulus.
Sekalipun terdengar egois, setidaknya untuk terakhir kali.
"Ayah, jadi gak hari ini belajar masak sama Chef Rajuna?"
Ayah melirik sekilas sambil membuka lembaran baru korannya.
"Ayah sibuk."
"Hmm, kalau gitu hari Minggu mau gak?"
"Enggak."
Raihan mengintip dari balik koran saat gema Rajuna mendadak hilang. Biasanya ia akan mengoceh dan memaksa sang Ayah untuk mengikuti kemauannya meski ujung-ujungnya ia tidak pernah menang.
"Hari Minggu Ayah ketemu calon istri Ayah."
Rajuna sontak melepas sendoknya, menimbulkan suara ribut yang menggema keseisi ruang makan setelah Raihan berkata terus terang. Ia menggeser kursinya kedekat Ayah dengan antusias dan senyum yang kelewat lebar.
"Siapa?? Cantik gak? Iiiih, kapan kenalnya?? Rajuna kok gak tau?!"
"Nenekmu yang jodohin Ayah."
KAMU SEDANG MEMBACA
ECHO IN THE FOREST ✔ [TERBIT]
FanficGema nyaring yang berdegung mengitari ruang keluarga siang itu seperti petir yang menyambar Rajuna tiba-tiba. Bukan karena kata-kata kasar nan menyakitkan yang Kakaknya Gatra pekikkan, namun masa depan yang telah ia bayangkan bersama orang-orang ter...