21- Semesta dan segala kejutannya

5.5K 747 78
                                    

Sudah lebih dari 15 menit Wenda duduk didepan Terri dengan gambar kondisi jantung dan grafik kesehatan Rajuna dilayar komputer Terri. Cowok berjas putih yang kali ini wajah tampannya dihalangi bingkai kaca mata itu sampai tidak mampu mengembangkan senyum saat menjelaskan setiap detail. Karena bukan hanya Wenda yang merasa sesak, Terripun ikut patah setiap menjelaskan betapa tidak memungkinkannya jantung Rajuna untuk dapat berfungsi secara normal. Di titik ini, segala pengobatan tidak lagi efektif. Hanya ada satu cara, yaitu transplantasi, dan itupun tidak mudah.

Ada tahap-tahap panjang yang perlu dilalui, sementara itu pendonor juga belum ditemukan. Sekalipun ada, mereka perlu mendapat persetujuan keluarga. Tidak banyak keluarga yang mau membiarkan kerabatnya dimakamkan dengan organ yang tidak utuh, bahkan dengan tujuan yang mulia. Maka dari itu, Terri menjelaskan bahwa mendapatkan donor jantung adalah sebuah keajaiban.

Sebagai seorang Ibu, Wenda hanya dapat menitikan kembali air matanya. Berbeda dengan Gatra yang berperan sebagai pilar, Rajuna adalah kekuatannya. Kehadirannya memang cukup menguras tenaga dan emosi. Terlahir dengan prematur juga salah satu alasan mengapa Wenda teramat tidak kuasa menahan sesal. Bahkan meski tau ia lemah, Rajuna masih sanggup memberi kekuatan disaat lelah mengambil alih tubuhnya.

Wenda tidak mau lagi Rajuna menderita karena penyakit ini, penyakit yang ia bawa dari rahim. Karena bukan hanya Rajuna, Wenda juga menderita melihat putra bungsunya kembali menahan sakit hingga berjuang diatas brankar.

"Rajuna udah saya daftarin sebagai pasien penerima donor dari satu tahun yang lalu, dia pasien prioritas. Di Rumah Sakit ini, Rajuna satu-satunya pasien penerima donor. Jadi kalau ada kabar, artinya Rajuna bisa langsung di operasi."

"Saya pernah dengar angka keberhasilan operasi jantung itu kecil?" ujar Wenda dengan getaran yang kentara.

Terri mengangguk sambil menggigit bibirnya. Sialan, ia ikutan cemas. "Kita lihat nanti, kondisi Rajuna yang akan menentukan tingkat kesulitan."

***

"Udah lo sana balik ke kelas, jangan ngintilin gue mulu. Gue kawinin paksa lo ya sama Sinta!"

"Ck!"

Kendati pergi, Haidar malah makin keras kepala dan mengacak-acak kotak pensil Rajuna yang sudah Berantakan diatas meja. Hanya sekedar kesal karena ikan cupang itu akhir-akhir ini mencuci otak sahabatnya.

"Gue pindah IPA aja deh, ya? Masih kelas 10 juga, bisalah gue minta Abah nyogok kepala sekolah pakai sate ayam."

"GAK BOLEH!"

"YA GAK USAH TERIAK."

"YA SUKA-SUKA GUE!"

"Emang lo ya, gak ngegas sehari gak enak hidup lo," cerca Haidar sambil menidurkan kepalanya diatas meja dengan tas Rajuna sebagai bantal.

"Awas kumat lo."

"Ini udah kumat," sahut Rajuna enteng.

Mendengar itu Haidar spontan mengangkat kepala, cowok itu bahkan melotot saking kagetnya. Tangannya yang dipakai untuk memeluk tas juga spontan mendarat didada kiri Rajuna, mencoba mengecek detak jantung Rajuna yang berdetak tidak beraturan. Ia melirik Rajuna lagi, sedangkan cowok itu hanya menatap Haidar dengan tatapan bingung.

"Beneran dong, Jun. Masih jam kedua nih."

Rajuna terkekeh pelan, lalu merogoh pil obat dari kantong tasnya.

"Ini gunanya obat," ujar Rajuna santai sambil menjangkau botol airnya dari samping Haidar. Padahal jemarinya saja sampai bergetar.

"Sakit ya?" tanya Haidar.

ECHO IN THE FOREST ✔ [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang