24- Big wounds from the past

4.8K 739 117
                                    



Rembulan yang malam itu bersembunyi diantara awan hitam pekat yang bergerumbul menampung jutaan ton air yang akan tumpah ke bumi perlahan lenyap ditelan gelapnya angkasa. Angin bertiup cukup kencang—cukup untuk meniup ujung almamaternya yang sedikit basah akibat gerimis. Laki-laki yang baru genap 20 tahun itu masih mematung diatas motornya di garasi rumah, meremat jemarinya dengan perasaan cemas.

Perlahan ia memindahkan tas lonjong yang berisi gulungan kertas tugas menggambar kerangka bangunan yang ia kerjakan dari malam bertemu pagi selama tiga hari, dan tugas itu hanya  mendapat nilai c dengan mudahnya. Ia mengintip lewat jendela di garasi yang langsung tertuju pada ruang tamu, sang Ayah tengah duduk santai disofa sembari berbincang dengan Ibundanya.

Lelaki itu menggigit bibirnya lagi. ia berulang kali mensugesti diri untuk tidak kecewa pada diri sendiri, dan memaklumi bahwa passionnya dibidang arsitektur memang tidak ada. Semua ini hanyalah sebatas rencana orang tuanya. Ia membuka kancing almamater yang dibordir nama 'Reihan Najuar S' kemudian turun perlahan dari atas motor.

Ekspetasi orang tuanya lagi-lagi menghantui pikirannya. Selama ini, ia selalu mendapat nilai A, Mamanya sudah berkoar ke sana kemari bahwa ia adalah anak berprestasi yang masuk Universitas negeri ternama di Indonesia.

Reihan meremat jemarinya yang berkeringat, kemudian mengelap jejak basah ke atas kain almamaternya sebelum masuk ke dalam rumah dengan perlahan.

Wangi mawar yang pengharum ruangan semprotkan seketika menyapa indera penciuman Reihan, biasanya wewangian ini adalah salah satu bau yang dapat menenangkannya saat cemas berlebihannya datang, namun berhubung nilai diatas kertas di dalam benda yang ia ambing sekarang ini tengah membuatnya kecil dan Papa tepat berada didepannya dengan sarung dan baju kaos polonya.

"Kok pulang sore lagi?" Papa bergeser, mencoba menatap putranya terang-terangan dari sofa tunggal.

Reihan Cuma tersenyum tipis, berusaha tidak terlihat mencurigakan. "Ada kerja kelompok."

Pemuda itu berusaha tidak terlihat gugup dan melalui kedua orang tuanya dengan santai, meskipun detak jantungnya kini terpompa berkali-kali lipat.

"Projek kemarin udah di nilai ya, Rei?"

Reihan mendadak beku, langkahnya mati begitu saja di anak tangga pertama dengan keringat gugup sebesar biji jagung yang meramaikan pelipisnya.

"Gimana?" pertanyaan dengan nada datar itu membuat Reihan berbalik, wajah pucatnya membuat sang Papa tersenyum miring, seolah telah membaca sesuatu.

"Dapat C."

Sang kepala keluarga lantas mengangguk pelan, kemudian membelakangi putra nomor tiganya yang susah payah menetralkan rasa cemasnya.

"Kalau Mas Fajri masih hidup, dia pasti udah jadi arsitek handal. Sampai lulus, mana pernah dia mencicipi nilai di bawah A. Lagian Papa heran, waktu mata kuliah ini dulu Mas Fajri ngerjainnya sama kayak kamu yang gak tidur berhari-hari, kok kamu bisa beda sendiri jadi C? Padahal dosen pengampunya juga sama."

"Gak tau, Pa. Reihan udah maksimal, kok."

"Ya kalau maksimal gak C lah, Rei."

Reihan menelan ludah. Harus sekeras apa lagi usahanya? Ia mimisan dua kali Minggu ini. Kepalanya juga terasa akan pecah, semua yang ada dipikirannya menyusut. Belum lagi sang Papa yang menyeret Almarhum Mas Fajri dalam obrolan mereka petang ini.

"Gak ada harapan kamu, Rei..Rei."

"Udahlah, Pa. Mas Rei mandi terus turun makan malam ya? Dek Farhan masih rapat BEM katanya, dia telat pulang," Ujar Mama lembut, meski sorot kecewanya dapat Reihan tangkap dengan jelas.

ECHO IN THE FOREST ✔ [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang