⚠️alur maju-mundur⚠️
Alon alon aja bacanya T_____T__________________________
.Gatra's Perspective
YANG Gatra ingat, Rajuna suka mandi hujan sore-sore. Bermain kapal-kapalan di atas genangan yang melaju deras dari tepian rumah menuju jalan raya. Berhubung Rajuna tidak di izinkan untuk berlari, maka anak itu berjalan dengan senyum merekah mengitari taman bunga milik Bunda di halaman rumah, menertawai kodok yang ia jumpai atau menyelamatkan serangga yang terjebak hujan di bawah daun besar. Dulu, Rajuna punya sisi yang begitu menggemaskan, sampai Gatra pernah tidak melepaskan pelukannya seharian. Katanya takut nanti di ambil orang gila yang suka anak lucu.
"Mau mandi hujan sama Kakak selamanya," kata Rajuna saat itu. Giginya belum tumbuh semua, ada beberapa gigi susu yang tanggal beberapa hari sebelumnya yang mereka buang sama-sama ke atap rumah mereka. Kata Bunda, akan ada peri yang akan memungutnya dan akan menukarnya dengan yang lebih bagus. Rajuna kegirangan kala mendengar cerita tersebut dan menceritakan hal itu kepada seluruh penghuni sekolah.
"Tapi janji gak boleh sakit?" Gatra menyesali kata-kata yang keluar dari mulutnya dahulu. Sebab ialah yang kurang lebih memberi kesakitan kepada sang Adik tanpa sadar. Dan semenjak saat itu pula, Rajuna mulai menyembunyikan sakitnya. Sampai kesalahpahaman besar itu pecah dan menghadirkan rasa benci untuk Gatra. Entah sejak kapan ia mulai menyalahkan Rajuna atas perceraian orang tuanya, sebab yang ia tau Ayah mencintai Bunda sebagaimana Bunda sebaliknya. Dan Ayah mencintai anak-anak sebagaimana mestinya. Gatra tidak pernah benar-benar mengerti sampai Rajuna meninggalkan rumah bersama Ayah, meninggalkan dirinya dan Bunda yang hatinya terluka parah sebab gagal mempertahankan hak asuh. Bunda menyalahkan Ayah, dan Gatra menyalahkan Rajuna.
Entah sejak kapan ini bermula, namun setiap kali hujan, Gatra selalu di bawa melalang buana ke masa lalu. Di saat ia dan sang Adik menghabiskan waktu yang paling menyenangkan di bawah hujan, bertukar tawa dan saling melindungi agar tidak terpeleset di atas tanah. Gatra terkadang merasa gila sebab merindukan menggenggam jemari kecil Rajuna yang beberapa bulan lalu memutuskan untuk tidak pernah lagi memberikan kesempatan kepada siapapun untuk meminta maaf. Yang memutuskan kembali kepelukan Sang Pencipta untuk selamanya.
Gatra tidak pernah sebenci ini berjalan di keramaian menuju tepi trotoar yang tepat untuk memberhentikan angkot setelah memutuskan untuk meninggalkan motor kesayangannya di rumah dan pergi dengan kendaraan umum sendirian sebab ia kembali di serang rindu. Berangkat jalan kaki, naik angkot, dan menikmati kesendirian. Akhir-akhir ini Gatra mengikuti bagaimana Rajuna hidup di masa lalu, dan jika ia boleh jujur, rasanya sangat menyesakkan. Haidar mungkin satu-satunya bising yang membantunya hidup di tengah sunyi dan abai yang semesta berikan.
"Dek! Naik gak?"
Lamunan Gatra yang sesaat mengalihkan atensi tiba-tiba di buyarkan kenek angkot yang melambaikan handuk kecilnya ke wajah Gatra dengan wajah prihatin dan Gartra langsung menurut untuk masuk ke angkot tanpa banyak bicara.
Gatra tidak pernah terbiasa dengan ramainya angkot. Tidak pernah bisa berdekatan dengan ibu-ibu dan bapak-bapak yang pulang dari pasar dengan belanjaan besar mereka. Tidak pernah bisa duduk bersama Ibu-ibu yang membawa balita, apa lagi duduk di samping seseorang yang melihatnya dengan intens, seolah menginginkan sesuatu dari dalam tasnya. Gatra memilih duduk di samping anak berseragam SMA di ujung angkot setelah memaksanya bergeser.
Namun baru duduk beberapa menit, Gatra sudah sedikit terganggu dengan hawa panas saat kulitnya dan anak SMA disampingnya bersentuhan. Gatra melirik dan menatap anak itu dengan cemas, anak laki-laki itu menyandarkan kepalanya ke dinding angkot dan berusaha tidur dengan wajah pucat pasi. Belum lagi orang di sebelahnya menghindari kepala anak itu saat hampir jatuh ke bahunya, buru-buru Gatra membawa kepala anak itu bersandar di bahunya meski akhirnya anak itu sadar dan meminta maaf.
KAMU SEDANG MEMBACA
ECHO IN THE FOREST ✔ [TERBIT]
FanficGema nyaring yang berdegung mengitari ruang keluarga siang itu seperti petir yang menyambar Rajuna tiba-tiba. Bukan karena kata-kata kasar nan menyakitkan yang Kakaknya Gatra pekikkan, namun masa depan yang telah ia bayangkan bersama orang-orang ter...