We can't return to those days
If I could, I'd call your name
No, but I'll accept your blame
It really is time to say goodbyeLet Go by BTS
_______________________
Pagi ini, sudah dua jam setelah jenazah Rajuna dikebumikan, rumah masih ramai dengan kedatangan orang-orang yang bergantian membaca ayat-ayat suci. Membiarkan figura Rajuna yang tersenyum manis diletakan diatas meja bersama lukisan bunga lily karyanya sendiri.
Ratusan kata-kata untuk menguatkan orang yang ditinggalkan justru tidak punya efek apapun untuk hari ini. Mereka seolah kehilangan tenaga untuk bangkit, lalu bagaimana mereka bisa baik-baik saja dengan hanya mendengar kata-kata yang meminta mereka untuk tabah?
Bau dupa menyebar hingga ke seluruh rumah seolah menjadi pelengkap suasana yang tengah dibanjiri air mata, dari sudut kesudut rumah ini hanya dipenuhi orang-orang yang kehilangan. Dan sekali lagi, mana bisa kata-kata untuk tabah itu membuat mereka baik-baik saja.
Haidar sudah menghabiskan satu jamnya dipeluk sang Abah erat, Haidar luar biasa patahnya. Dunia terasa kosong begitu Dokter Teri mengumumkan tanggal dan waktu kematian Rajuna semalam. Ia tidak bisa menguatkan Wenda ataupun Gatra seperti biasa, karena malam itu iapun sama hancurnya, sama kehilangannya bahkan karena terlalu sesak air matapun tidak dapat terbendung. Lalu hanya tidak bisa mempercayai semua yang terjadi dalam satu hari itu.
Sang Abah nampaknya merasa ikut terpukul, Rajuna tentu sudah seperti putranya dan ia percaya bila Haidar bergaul dengan cowok berhidung mancung itu. Tapi begitu melihat mayat Rajuna yang ditimbun tanah ditemani tatapan hancur sang Bunda membuatnya sontak memeluk sang putra. Tidak akan pernah terbayangkan di dalam kepala orang tua manapun kehilangan anak mereka secara tiba-tiba.
Meninggalkan sang Abah yang masih membaca surah-surah pendek bersama pelayat yang lain, Haidar melangkahkan tungkainya ke halaman belakang, dimana ia melihat Gatra duduk diam dan tidak mengucapkan satu patah kata bahkan tangis sejak tadi pagi sebelum jenazah Rajuna dikebumikan.
Padahal Bunda kini tengah berantakan dengan mata yang sudah bengkak, duduk merana dipeluk sanak saudara. Berkali-kali mencoba menahan tangis, namun gagal, air matanya seolah tidak pernah habis untuk menangisi kepergian sibungsu yang sudah ia perjuangkan mati-matian selama ini. Melihat Bunda yang sekacau itu membuat Haidar beralih dimana Gatra yang tidak terlihat dimanapun.
Gatra menahannya, Haidar tau. Ia mungkin terlihat baik-baik saja atau terima-terima saja dengan perpisahan ini, tapi siapa yang tau? Gatra hanya menyembunyikannya dari semua orang.
Maka dari itu ia di sini, pelan-pelan duduk dikursi disamping Gatra tanpa mengucap kata. Hanya sama-sama merenung menatap langit yang mendung, tidak memperdulikan kemeja hitamnya yang sudah kusut dan basah.
Bagaimanapun, Gatra tetaplah lebih patah hati dibanding dirinya. Gatra saudaranya, Kakak satu-satunya Rajuna.
Teringat jelas dikepala Haidar saat tangis Gatra memecah UGD semalam. Ia berteriak gila-gilaan meminta Rajuna kembali. Perawat yang Dokter Teri utus untuk menjelaskan bilang bahwa Rajuna sudah tidak ada sebelum sampai di rumah sakit, Dokter Teri hanya memaksa untuk tetap mengembalikan Rajuna meski terlambat, sangat-sangat terlambat. Bahkan obat yang Bunda letakan dibawah lidah Rajuna di dalam perjalanan tidak sempat berkerja.
Rajuna sudah diambil sebelum itu.
Gatra kacau semalam, bukannya Haidar tidak tau. Hari inipun begitu, namun tidak ia tampakan. Namun wajah datarnya justru membuat hati Haidar makin sakit.
"Nangis aja sih, Kak," ujar Haidar dengan suara bergetar yang berakhir dirinya sendiri yang menangis.
"Percuma kalau ditahan, biar apa?" Haidar menoleh lagi dengan pandangannya yang memburam, kenapa susah sekali untuk tidak menangis?
KAMU SEDANG MEMBACA
ECHO IN THE FOREST ✔ [TERBIT]
FanficGema nyaring yang berdegung mengitari ruang keluarga siang itu seperti petir yang menyambar Rajuna tiba-tiba. Bukan karena kata-kata kasar nan menyakitkan yang Kakaknya Gatra pekikkan, namun masa depan yang telah ia bayangkan bersama orang-orang ter...