Terri dan Rajuna sama-sama membeku dengan masing-masing minuman ditangan mereka. Akhirnya, setelah sekian lama, mereka berdua kembali duduk berdua ditaman indoor favorit mereka sambil menatap langit malam yang menemani obrolan.
Rajuna berdecak, lalu meletakkan susu kotaknya disamping kemudian menggeser infusnya yang terasa kurang nyaman. Melirik Terri sekilas saat Dokter muda itu menyeruput kopi di dalam gelas kertasnya. Sebenarnya Rajuna sedikit tersentuh, jam istirahat begini harusnya bisa Terri gunakan untuk tidur atau apa setelah melakukan tiga operasi sekaligus selama berjam-jam hari ini, namun kendati ia terkapar diruangannya, ia malah mengajak Rajuna keluar setelah membelikannya sekotak susu.
"Sebenarnya aku gak apa-apa sih, Bang," tiba-tiba suara Rajuna mengambang diudara, memecah sunyi yang awalnya menyelimuti keduanya.
Teri menoleh, menemukan Rajuna yang mengelus-elus dadanya sambil menghela nafas.
"Jantungku. Aku bukannya ambisius banget mau sembuh, kalau sembuh ya syukur. Jadi bilang aja fakta yang sejujur-jujurnya, aku gak mau lama-lama di rumah sakit."
"Gak di kasih tau pun kamu tau," jawab Terri, kemudian membawa air kafein itu turun kekerongkongannya.
"Enggak ah, gak tau. Kok kamu sok tau?" Ujar Rajuna penuh dengan canda.
Dokter muda itu mendengus pelan. Tangan Terri tiba-tiba terjulur, lalu menekan pinggang Rajuna pelan sekali, namun anak itu dengan spontan mengaduh hingga akhirnya salah tingkah.
"Kenapa itu? Tempo hari waktu Abang robek baju kamu, Abang nemuin semua luka lebam. Kenapa?"
Anak itu memperbaiki baju rumah sakitnya yang kebesaran, lalu berdehem pelan. Tidak tau mau menjawab apa, kalau disuruh berdebat ia memang tidak bisa menang meski Kosta kata yang ia ingat banyak. Level mendumelnya bisa menang hanya jika melawan Haidar.
"Kan Aku sering pingsan, kayaknya kepentok apa gitu. Masuk akal kan?"
Terri diam sejenak, memberi tampang penuh selidik. Namun Rajuna tidak bergeming, sialnya anak itu pandai menyembunyikan rasa sakit. Akhirnya, mendengar Rajuna yang masih tidak ingin membuka diri, Terri menghela napas panjang, membiarkan hangatnya kopi yang ia genggam menjalar ke seluruh permukaan telapak tangannya.
"Abang gak bisa prediksi umur pasien penyakit jantung," Terri menoleh ke arah Rajuna yang ternyata anak itu mendengarkannya dengan serius. "Yang jelas, kamu bisa lewat kapan aja. Jadi Abang mohon banget, jaga jantung kamu sendiri, jangan disepelekan lagi."
Rajuna mengangguk saja mengiakan, meski nyatanya ia sendiri tidak yakin. Kemarin saat tidak banyak kegiatan yang ia lakukan, ia tetap saja kelelahan dan akhirnya pingsan. Ia cukup sadar diri selemah apa tubuhnya kini.
"Ayah kamu gak punya hak lagi buat jagain kamu, terakhir kali Abang jelasin kondisi kamu, Abang kira dia udah mulai sadar, tapi akhirnya malah makin parah."
"Gak usah bawa-bawa Ayah, deh. Ayah baik kok.." tidak berapa lama kemudian anak itu melamun, memandang sepasang Ayah dan anak yang baru saja mengambil obat di apotik Rumah Sakit.
"Sebenernya dulu Rajuna takut sama Ayah," ujar Rajuna, memberi jeda sejenak untuk mengambil napas dalam. "Ayah pernah marah besar sampai hilang kontrol dan ngelampiasin semuanya ke aku. Ayah serem banget waktu itu, ditambah rasanya tubuh aku sakit banget. Aku ngadu ke Bunda karena naluri aja, gak tau juga karena cerita aku waktu itu bisa bikin semuanya makin berantakan."
Rajuna terkekeh pelan, mengingat pertengkaran singkat dirinya dengan sang Kakak yang berakhir ia yang harus mengalah dan tinggal dengan trauma terbesarnya saat itu. yang ia kira hidupnya tidak akan bertahan lebih dari dua bulan namun semuanya bertahan hingga hari ini meski hari yang ia lalui lumayan melelahkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
ECHO IN THE FOREST ✔ [TERBIT]
FanficGema nyaring yang berdegung mengitari ruang keluarga siang itu seperti petir yang menyambar Rajuna tiba-tiba. Bukan karena kata-kata kasar nan menyakitkan yang Kakaknya Gatra pekikkan, namun masa depan yang telah ia bayangkan bersama orang-orang ter...