16- Ayah's Support Power

6.7K 895 84
                                    






Raihan menghempaskan tubuhnya diatas sofa setelah kembali dari rumah sakit dengan kepala pening. Habis dua jam menemani Rajuna yang membeku diatas ranjang dengan belasan alat ditubuhnya, ia akhirnya dipaksa pergi oleh sang mantan istri saat fajar perlahan naik kesinggasana.

Ia tidak pernah melihat Rajuna selemah tadi. Ia tidak pernah melihat Rajuna seperti tadi, jatuh pingsan didepan matanya, kambuh didepan matanya atau bahkan ia tidak pernah sekalipun mendekap Rajuna dalam keadaan sekarat seperti tadi. Semuanya baru dan masih terasa menakutkan.

Jam di dinding sudah menunjukan pukul setengah enam. Harusnya sekarang sudah ada bunyi berisik dari arah dapur, entah itu putranya yang sedang membuatkannya kopi pagi atau sarapannya. Yang jelas kini rumah mendadak sunyi dan dingin. Pecahan kaca gelas bekas Rajuna tadi malam juga belum ia sentuh sama sekali, karena melihatnya saja sudah membuatnya pusing.

Sesaat ia mencoba bersandar pada punggung sofa sembari memejam. Mencoba menenangkan pikirannya yang sedari tadi entah mengapa begitu tegang memikirkan kemungkinan-kemungkinan buruk. Perlu diakui bahwa situasi tadi lumayan mencekam dan menampar kenyataannya cukup keras. Dibanding mempertahankan egonya yang benci memiliki putra lemah, ia justru tunduk pada ketakutan terbesarnya, bahwa ia sudah bergantung pada Rajuna.

Tangan dingin Rajuna yang sempat ia genggam masih terasa ditelapak tangannya. Memutar kembali memori dimana obsidiannya menangkap tubuh Rajuna yang pingsan lagi-lagi memancing detak jantungnya. Reihan menggeleng pelan, kemudian bangkit dan berjalan pelan kearah meja makan. Berniat ingin membuat segelas kopi sebelum berangkat kerja.

Baru sampai mengambil satu gelas, jemarinya kembali terhenti. Ia lupa dimana letak kopi dan gula berada. Membuka seluruh lemari satu-satu sebelum akhirnya ia ingat Rajuna pernah berpesan ada satu lemari atas dimana ia menyimpan semua serbuk minuman dan sirup. Mebuka lemari yang seperti Rajuna katakan dan menemukan stoples berisi serbuk kopi berdiri berjejer dengan stoples berisi kemasan teh dan botol sirup, Reihan lantas menghela nafas panjang. Ia melempar gelasnya menjauh dan memilih meninggalkan dapur sesegera mungkin.

Karena makin ia memikirkan semua kenangan dan suara Rajuna, ia makin merasakan penyesalan yang meremat dadanya.

***

Terhitung sudah empat hari Rajuna belum juga menunjukan tanda-tanda akan siuman dari tidur panjangnya. Tubuhnya yang sudah kurus makin kurus, dua hari yang lalu Dokter Terri bilang Rajuna sudah melewati masa kritis dan tinggal menunggu anak itu untuk bangun. Namun yang dari Gatra lihat anak itu tidak memberikan pergerakan apapun.

Rajuna sudah dimasukan di dalam daftar penerima donor jantung di rumah sakit ini, namun hingga saat ini belum ada pendonor yang tepat untuk cowok itu. Singkatnya, jalur satu-satunya Rajuna untuk lepas dari sakit jantung yang ia derita sejak lahir kini hanya transplantasi.

Gatra berhenti sejenak di toko minuman untuk membeli minuman favoritenya sebelum menuju ke rumah sakit. Jam masih menunjukan pukul tujuh malam, sambil menunggu pesanannya datang, Gatra mengecek semua jadwal dan tugas-tugas sekolahnya sebagai siswa tingkat akhir yang sebentar lagi selesai mengemban pendidikan SMA.

Ia duduk sendirian dibangku yang paling dekat dengan kasir dan menghadap kearah kaca yang ditempeli stiker lambang toko yang lumayan besar. Toko minuman yang sedang ia singgahi memang tepat berada ditepi jalan raya. Lampu jalan yang menyilaukan tengah beradu dengan lampu kendaraan yang berlalu lalang. Diam-diam Gatra berpikir, bahwa Rajuna harus kemari setidaknya sekali.

Sekitar 15 menit setelahnya, namanya dipanggil dan matcha latte pesanannya akhirnya menyapa kerongkongan. Mengambil dua kali teguk, getar ponsel Gatra membuatnya menoleh. Baris nama Bunda di dalam ponsel membuatnya refleks mengangkat telfon.

ECHO IN THE FOREST ✔ [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang