Satu yang pasti, yang Haidar ingat jelas tentang sahabatnya sejak SMP itu adalah sifatnya yang cerewet dan galak.
Waktu itu, waktu semester dua ditahun akhir mereka mengemban pendidikan sebagai siswa SMP, Haidar yang biasanya akan langsung pamit main dilapangan futsal setelah jam pelajaran selesai langsung Rajuna tahan agar tetap duduk disampingnya.
Haidar jelas tidak terima dan menatap sahabatnya bingung, masalahnya setelahnya Rajuna hanya diam saja sambil mengeluarkan buku-buku dari dalam lacinya.
"Jun, gue mau main nih sama temen-temennya Chandra. Kenapa?"
"Kok kenapa, ya belajarlah! Katanya mau bareng sama gue SMAnya," sahut Rajuna, cowok itu menggetok kepala Haidar pelan dengan buku LKS yang ia gulung.
"Ya ampun, Jun. Bapak gue anggota dewan, gak perlu capek-capek belajar juga masuk gue. SMA mana sih memangnya?"
Sesaat Rajuna berhenti menatap Haidar dan menggeleng pelan, "Kalau mau tetep pakai jalur orang dalam, gak usah satu SMA deh kita. Gue gak mau temenan sama lo."
"Dih, kok gitu?!"
Rajuna masih diam saja, jemarinya justru membuka halaman per halaman LKS tanpa acuh dengan Haidar yang masih menunggunya kembali menyuarakan kata.
Sambil berdecak kesal, Haidar akhirnya mengalah dan merebut salah satu LKS milik Rajuna dan mulai membukanya.
Namun bila diingat-ingat lagi, meski saat itu ia benar-benar dongkol dengan Rajuna, namun nilai kelulusannya benar-benar memuaskan. Baru kali itu Haidar merasakan nilai tertinggi dengan menjadi 50 besar satu sekolah. Abahnya saja sampai membelikannya ponsel baru begitu tau anak keduanya mendapat predikat yang cukup baik selama duduk dibangku SMP.
Ia tau Rajuna memang genius, parasnya juga rupawan, suaranya juga menawan, namun Haidar tau dibalik semua kelebihan yang didengkikan semua orang, Rajuna sakit.
Haidar tau penyakit apa yang melilit Rajuna sehingga fisiknya tidak sekuat orang lain. Ia tau mengapa Rajuna tidak selincah yang lain, ia tau mengapa Rajuna tidak memiliki langkah yang cepat dan kuat. Maka dari itu, mungkin, semua kekuatannya ia alihkan kebibirnya.
Seperti sekarang ini misalnya...
"Mending sekarang lo balik ke kelas lo deh, Dar. Lagian gak ada bedanya IPA sama IPS, jangan jadiin gue alasan buat lo pingin pindah jurusan atau apalah, lo tau sendiri diri lo gak suka pelajaran IPA waktu SMP, gue gak mau ya denger lo ngeluh soal capek ngitunglah, gak ngerti biologilah. Lagian lo katanya mau terjun ke politik, ya bener dong lo masuk IPS kok ribet banget--."
"Iya..iya, Jun! Set dah, gue tadi cuma bilang di IPS anaknya berisik. Gue gak serius kali pindah jurusan."
" Ya habisnya lo jadiin gue alasan," balas Rajuna.
"Ya kan dari awal gue mau satu SMA plus satu kelas lagi sama lo. Gue mana tau di SMA ada IPA sama IPS gini!"
Rajuna menggeleng tak habis fikir, kemudian lanjut mencoret-coret hitungan dikertas kosong. Buku yang berisi soal untuk PR itu sudah nyaris selesai ia kerjakan, andai saja Haidar tidak mengacau dengan berteriak disepanjang koridor kelas 10 dan bernyanyi dengan menggati liriknya dengan nama Rajuna, PR matematika peminatan yang gampang ini mungkin sudah selesai 10 menit yang lalu.
"Terserah lo deh, yang penting lo gak belok ke jalan setan aja gue udah bersyukur," ucap Rajuna akhirnya lalu kembali berkutat dengan aljabar.
Sedangkan Haidar masih betah duduk dibangku di depan Rajuna. Anak itu bermain dengan apapun yang ada dimeja Rajuna, mulai dari menggambar meja Rajuna dengan tip-x, lalu menggambar karakter animasi dibuku halaman akhir milik Rajuna hingga akhirnya mengacak-acak kotak pencil cokelat Rajuna yang setengah isinya sudah berantakan diatas meja.
KAMU SEDANG MEMBACA
ECHO IN THE FOREST ✔ [TERBIT]
FanfictionGema nyaring yang berdegung mengitari ruang keluarga siang itu seperti petir yang menyambar Rajuna tiba-tiba. Bukan karena kata-kata kasar nan menyakitkan yang Kakaknya Gatra pekikkan, namun masa depan yang telah ia bayangkan bersama orang-orang ter...