side story: Larajuna III

2.7K 247 54
                                    

Larajuna: Ayah's Perspective




_________________

 REIHAN baru menyadari jika presensi kecil Rajuna di hidupnya berdampak begitu besar ketika ia melihat tubuh kaku putranya terbaring di atas brankar UGD malam itu. Malam yang awalnya terasa hangat dan syahdu, banyak tawa yang saling bertukar yang tiba-tiba berubah menjadi malam paling mencekam dan menyedihkan. Celakanya, yang membuatnya sadar kala itu bukanlah candaan garing yang biasa anak itu lontarkan, bukan juga sikap manis yang sang putra selalu usahakan, apa lagi masakan kesukaannya yang Rajuna mati-matian pelajari. Namun tubuh kakunya, wajah datarnya yang pucat pasi dan jemarinya yang mendingin. Baru pertama kali Reihan merasa jantungnya seolah jatuh ke perut, sebab Rajuna berubah menjadi sesunyi ini.

Rungunya seolah mati, sebab tangisan yang menggema di sepanjang lorong terdengar kosong. Hanya suara dengung panjang yang membuatnya pening, paru-parunya juga mulai tidak berfungsi dengan normal, udara di bumi tiba-tiba terasa sempit. Seluruh tubuhnya seketika tidak berfungsi dengan normal, sebab perasaannya tidak tau mau mengeluarkan emosi seperti apa.

Tangis yang meraung?

Ekspresi apa yang harus ia berikan saat ini? Sebab yang bisa ia rasakan saat ini hanyalah langit yang tiba-tiba terasa jatuh di kepalanya.

UGD saat itu berubah begitu dingin. Angin berhembus kuat dari kaca jendela. Sosok Rajuna yang telah terbaring begitu lemah tanpa nyawa meski selang-selang telah menyatu dengan tubuhnya membuat Reihan kehilangan kekuatan untuk berpijak. Reihan sering melihatnya merengang nyawa namun tidak pernah berpikir bahwa sosok itu akan benar-benar tiada.

Melihat semua orang menangis, bahkan sosok Gatra yang beku di sana menggenggam jemari sang adik, memekik namanya berulang kali meski ia sendiri sudah tau bahwa Rajuna tidak lagi bersama dengan mereka.

Sampai saat ia menggiring mobil ambulans menuju rumah mantan istrinya dengan nyaring sirine sebagai instrumen, jiwa Reihan seolah masih membeku di tempat, namun tubuhnya jujur. Jemari yang gemetar hebat saat mengendarai mobil, jantung yang terpompa cepat, napas yang tercekat dan mata yang lembab. Keringat yang mengucur di dahipun menjawab dengan jelas, seberapa ketakutannya seorang Reihan, untuk alasan yang masih belum ia temukan jawabannya.

Mobil putih di depan yang membelah jalanan itu perlahan terlihat samar, seiring ingatannya yang melalang buana ke masa lalu. Tangisan sesal sang Papa di pemakaman putra pertamanya siang itu, membuatnya membayangkan apa yang akan terjadi bila ia tiba di pemakaman putranya sendiri.

Ia tidak lupa dengan semua sikap yang ia berikan pada Rajuna. Sikap dingin, egois dan kasar yang Rajuna terima begitu saja. Anak itu menggantungkan hidupnya meski tau tidak akan pernah Reihan gubris. Namun hari ini Reihan baru sadar, ia baru mengerti, bahwa Rajuna yang bahkan belum sempat merayakan sweet 17 nya itu hanyalah seorang anak yang bergantung pada orang tuanya. Ia sama dengan anak-anak lain sepantarannya dan Reihan mengabaikan fakta itu.

"Om..." suara serak Haidar di sampingnya membuat Reihan sedikit tersadar bahwa mereka agak sedikit keluar dari jalur. Memastikan mobilnya dalam keadaan stabil, ia melanjutkan fokusnya ke jalanan, mengikuti mobil Ambulans yang bergerak dengan kecepatan normal. Sedangkan Haidar kembali bungkam, sesekali kembali terisak.

Reihan sedikit teralihkan sebab sikap tidak tenang Haidar. Anak itu mengganti duduknya berkali-kali, membuang mukanya berkali-kali sambil terisak, meremat kedua tangan jemarinya dengan cemas. Baju rapinya sudah habis basah karena air mata, bentuknya pun sudah berantakan.

Sampai di saat mereka nyaris sampai di rumah duka, Haidar lebih dulu membuka seatbelt sebab duduknya yang tidak nyaman.

"Om enggak sedih, kah?"

ECHO IN THE FOREST ✔ [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang