Harum aspal sehabis hujan adalah salah satu kesukaan Gatra, sedangkan berisik hujaman hujan diatas rumput adalah kesukaan Rajuna. Gatra suka kopi, sedangkan Rajuna lebih suka teh. Dibanding menaiki gunung seperti hobi Gatra, Rajuna lebih suka menggambar apapun yang ada didepannya ke dalam sketch miliknya. Bukannya malas, hanya saja tidak bisa.
Seberbeda itu mereka. Sehingga membuat Gatra berfikir semua itu adalah bukti ketidakcocokkan mereka, padahal Rajuna kira mereka adalah sepasang saudara yang lumrah dengan semua perbedaan yang ketara.
Rajuna punya satu juta rahasia yang tidak pernah Gatra mau tau. Hanya disanalah letak kesalahpahaman ini bermula. Dari kecil, Gatra selalu saja melempar kebenciannya kepada Rajuna. Seperti saat mobil mereka melewati lorong jalan raya dan saat itu sekitaran berubah menjadi gelap. Gatra yang berumur 10 tahun itu dengan kasar menampar kepala sang adik lalu dengan wajah datar ia mengancam agar Rajuna tidak menangis.
Rajuna saat itu entah mengapa mengerti-mengerti saja. Ia tau ada rasa iri dihati sang kakak saat seharian ia digendong kemanapun, semua barangnya dibawa, semua keperluannya dipenuhi dengan segera, sedangkan saat Gatra diumur yang sama Bunda dengan tegas mengajarinya agar mandiri.
Sambil menatap selebaran koran yang berantakan dibawah kaki sang Ayah. Rajuna mendekat perlahan, takut membangunkan sang Ayah yang tertidur pulas didepan televisi kemudian merapihkannya ke atas meja. Berusaha melupakan memori yang kadang-kadang bila dipikirkan juga dapat mengoyak lukanya.
Hujan tidak lagi turun. Gerimis kecil sisa-sisa hujan tadi meninggalkan aroma tanah yang kuat, burung-burung mulai kembali berterbangan dan Rajuna yang kembali kedapur menyiapkan makan malam untuk keduanya.
Awalnya cowok itu hanya menyiapkan segala macam bahan-bahan yang ada, kemudian berencana menyatukannya ke dalam kuali, namun saat Ayahnya mulai sadar dan akhirnya bangkit meraih gelas dan menuang air kedalamnya. Rajuna berhenti memotong seledri kemudian menatap sang Ayah yang masih menegak habis minumannya.
"Ayah mau makan apa makan malamnya?" tanyanya.
Pria yang ia panggil Ayah itu melirik sekilas, masih mencoba meraup kesadarannya.
"Rendang," jawabnya enteng.
Rajuna melotot, lalu melirik jam dinding yang menunjukkan pukul lima sore. Masih ada waktu untuk pergi ke swalayan, tapi masalahnya bukan itu.
"Kita gak ada daging, harus aku beli dulu. Tapi masak rendang juga butuh waktu lama, Ayah gak apa-apa nunggu lama?"
"Beli aja sekarang buat besok," katanya. Rajuna mengangguk patuh, kemudian menurunkan lipatan ujung kaos lengannya sambil menunggu dipunggung sang Ayah.
"Tunggu apa lagi? pergi sana!" titahnya. Rajuna sontak menggaruk belakang kepalanya canggung.
"Kalau beli daging uang Rajuna gak cukup."
Ayah berdecak sambil mengeluarkan kartu ATMnya. "Sekalian beli rokok, yang biasa."
"Lho, katanya Ayah mau berhenti ngerokok," sahut Rajuna.
Pria yang masih dibalut celana kerjanya dan atasan singlet itu kembali berdecak kesal mendengar putranya yang banyak komentar.
"Pergi ajalah!" sentaknya gusar sambil mendorong belakang kepala putranya kasar. Memang tempramennya itu jelek sekali. Beruntung Rajuna anaknya sabar.
"Iya..iya. Rajuna pergi dulu, jaga rumah ya, jangan dibakar."
"Ini anak!" Ayah sudah berniat melayangkan kembali tangannya bila saja Rajuna tidak langsung lari terbirit-birit meninggalkan dapur.
KAMU SEDANG MEMBACA
ECHO IN THE FOREST ✔ [TERBIT]
Fiksi PenggemarGema nyaring yang berdegung mengitari ruang keluarga siang itu seperti petir yang menyambar Rajuna tiba-tiba. Bukan karena kata-kata kasar nan menyakitkan yang Kakaknya Gatra pekikkan, namun masa depan yang telah ia bayangkan bersama orang-orang ter...