018 : Hah? alter ego?

165 29 41
                                    

Aku berlari dengan sekencang-kencangnya menuju ruangan tempat Billar di rawat. Tentang kejadian kemarin malam membuatku pusing dan juga merasa kesal kepada Billar.

Aku menerobos koridor rumah sakit, tidak perduli jika nantinya aku akan menabrak orang-orang.

Siang tadi aku mendapat panggilan bahwa Billar di rawat karena kecelakaan kemarin malam. Sebenarnya aku merasa kasihan kepadanya, tapi jika mengingat tentang perbuatannya membuat rasa iba ku menghilang.

Terlihat seorang wanita yang berkerudung tengah mondar-mandir di depan ruang inap VVIP 156 Yang ku yakini kalau itu adalah Zuhrah.

Ku hampiri Zuhrah dan mencoba untuk berbicara dengannya. Aku juga merasa sangat penasaran dengan penyakit yang di derita Billar.

Namun belum sempat mendekat, Zuhrah melemparkan tatapan benci, marah dan juga dendam.

"Kamu mau apa ke sini?" tanyanya tanpa tersenyum.

"A-aku mau jenguk Billar."

Terlihat Zuhrah menyunggingkan salah satu sudut bibirnya, lalu mendekat ke arahku dan mendorong pelan pundakku dengan jari telunjuknya seraya berkata,  "Ck! Punya hubungan apa kamu dengan Billar? Gak sadar diri apa ya kamu? Berani-beraninya bilang Billar tanpa pakai 'pak'."

Aku hanya menundukkan kepalaku. Benar apa yang di katakan Zuhrah. Aku memang tidak memiliki hubungan apapun dengan Billar, tapi berani sekali memanggilnya dengan nama saja.

"Tolong kasih tau saya penyakit Bil— ah, pak Billar m-maksud saya. Tolong beri tahu saya."

Zuhrah memutar bola matanya dengan malas, lalu berkacak pinggang.  "Sudah ku bilang kalau bos kamu itu memiliki penyakit Alter ego. Jiwanya terbagi dua, dia itu punya dua karakter sekaligus di dalam dirinya!"

"T-tapi dia baik-baik saja. T-tolong kasih tau saya dengan jujur. Saya mohon."

Zuhrah tidak mendengarkan ku. Dia melenggang pergi dari hadapan ku. Tak terasa air mata menggenang di pelupuk mataku, dan menetes deras ke pipi dan membasahinya.

Seorang pria yang baru saja keluar dari ruang inap Billar menghampiri ku. Beliau adalah dokter yang baru saja merawat Billar. Dengan reflek ku seka air mataku dan mendengarkan beliau.

"Anda keluarga Pasien?" tanyanya saat melihatku.

"I-iya dok. Saya keluarganya."

"Kalau begitu anda bisa ikut dengan saya ke ruangan. Ada yang perlu saya bicarakan keterkaitan penyakit mental dan jiwanya."

Ku angguki pernyataan pak Dokter dan mengikuti beliau ke ruangannya.

Saat sampai di dalam ruangan, ku duduki pantatku di kursi yang berhadapan dengan Dokter yang hanya terhalangi meja modern.

"Saya akan langsung membicarakan nya. Tolong rileks dan tetap tenang." Ujar Dokter itu memberitahu ku, lantas aku menuruti permintaannya.

"Baik Dok."

"Pasien memiliki gangguan Dissociative identity disorder, atau biasanya alter ego. Pasien tidak akan ingat apa yang sudah di lakukan oleh karakter keduanya."

"Karakter kedua?"

Dokter itu mengangguk pelan,  "Ya. Mungkin bisa di katakan pasien menciptakan karakter kedua itu. Sayang sekali kita tidak bisa memunculkan atau membangunkan karakter keduanya, jika kita bertanya sekali pun kepada karakter aslinya, ia tidak akan mengingat apapun, jadi percuma."

Bagaimana caranya untuk membangunkan karakter kedua Billar? Aku memang tidak pantas untuk mendampingi nya.

Bagaimana untuk bisa mendampinginya, sementara aku juga tidak mengetahui penyakit yang di deritanya?

Yah, ku ingat kerabat ayah Bripda Joe. Lantas dengan segera aku menuju ke toilet untuk menelpon Bripda Joe.

Ku rasa aman, dan ku rasa Zuhrah juga sudah meninggalkan rumah sakit sejak tadi. Lantas ku ambil handphone ku di dalam tas mungil, dan pilih nama Bripda Joe di contact.

"Hallo pak, maaf mengganggu waktunya. Ini saya lesti, pak." ujarku saat telepon nya tersambung.

"Oh iya Deh, ada apa? Bapak baik-baik aja 'kan deh?"

"Bapak baik-baik aja, pak. T-tolong bantu saya pak. Bantu cari karakter kedua orang yang mengidap alter ego, saya butuh sekali."

"Penyakit Did? Orang itu pernah di rawat deh? Kalau pernah bawa surat keterangannya dan sisanya biar anak buah bapak yang urus."

"Oh kalau begitu saya kirim lewat surel ya pak? Terimakasih pak"

"Iya sama-sama Deh."

Sekarang pikiran ku agak membaik, hatiku terasa tenang. Semoga saja Bripda Joe bisa di andalkan dan cepat-cepat bisa menemukan karakter yang sudah ditiru oleh Billar.

Ku langkahkan kaki ku menuju ke ruangan Billar. Ingin memberitahunya kalau aku dan dia tidak akan pernah bisa bersama.

Namun, saat aku berada di ambang pintu terdengar samar-samar dua orang sedang berdebat, lantas aku menyembulkan kepalaku sedikit di balik pintu.

Namun, di sana hanya ada Billar. Dan benar apa yang dikatakan oleh Dokter dan Zuhrah, Billar mengidap alter ego.

Terlihat Billar sedang memegangi kepalanya lalu memegangi tengkuk lehernya.

"Kenapa kau muncul saat berada di lesti, huh?!" bentaknya kepada dirinya sendiri dengan nada tegas.

"Kenapa? Apa tidak boleh? Sudah lama saat aku memeluknya di kantin, aku merindukannya Billar. Aku kesepian di sini." jawab oleh dirinya sendiri namun nadanya sedikit lembut dan terdengar penyabar, terlihat karakter keduanya itu sesekali meneguk ludah seraya tersenyum hangat. Ku rasa aku mengenal karakter itu.

"Kau tahu kalau aku mencintainya juga, bodoh! Aku mencintainya sebelum kau mengenal nya. Jadi, keluar sekarang dari tubuhku, sialan!"

"Tidak, aku tidak akan keluar dari tubuhmu karena kamu yang menciptakan ku. Aku akan menemani mu dan juga mencintai Lesti walau harus berbagai dengan mu."

"Stupid! Kau tidak bisa diandalkan seperti sebelu—ah shh aww s-sakit sekali, ahh."

Mataku membulat sempurna. Mulutku ternganga saking terkejutnya. Namun, sebuah notifikasi handphone berbunyi, lantas ku rogoh tasku dan mengambil handphone. Pesan text terkirim kepadaku dari Bripda Joe.

Bripda Joe
Karakter keduanya adalah adik tirinya. Ada catatan kriminal di data ayah temanmu. Dan empat tahun yang lalu temanmu mengajukan permohonan agar ayahnya bisa di sidang karena pelecehan seksual terhadapnya dan juga kriminalisasi. Adik tirinya bernama Azka.

Lantas dengan segera aku menuju ke dalam ruangan Billar. Aku memeluknya, aku menangis dengan kencang.

"Ah Lesti kamu di sini?" tanyanya.

Aku mengangguk seraya tersenyum.  "Billar aku mohon jangan buat lagi karakter Azka. Aku yakin kalau Azka akan sedih."

"B-bagaimana kamu bisa tau Azka? Buat karakter? S-siapa yang buat karakter?"

Ku pegangi kedua pipinya dan menatapnya lekat-lekat,  "Aku berjanji akan melindungi kamu. Jadi, jangan libatkan Azka lagi. Dan untuk Azka... Aku juga menyayangi kamu seperti adikku sendiri."

"Kamu k-kenal Azka? Itu bagus, tapi aku tidak menyukainya."

Aku hanya tersenyum lebar seraya menatapnya lekat-lekat. Niatnya aku tidak ingin menemaninya atau melindunginya, tapi hatiku tergores saat tahu kalau Billar memiliki trauma terhadap ayahnya.

Bisakah aku menghadapi awal yang baru dengannya? Bisakah aku bersabar menghadapi sikapnya? Dan, bisakah aku menghentikan penyakit yang dideritanya?

Jika memang takdirku sudah digaris bawahi oleh Tuhan, maka aku akan tabah menghadapi nya. Aku akan berusaha semampuku untuk menemani nya sampai dia lupa dengan rasa trauma kepada ayahnya.

Terimakasih Tuhan, karena kau bisa meyakinkan ku untuk bertahan dengannya, walaupun aku tidak tahu dengan pasti dia akan menikahiku atau tidak.

Two Love One Heart (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang