#02

1K 96 1
                                    

Happy reading, 💜

•••

Rumah mewah yang Jungkook beli satu tahun yang lalu menjadikan rumahnya sebagai tempat kami ber-empat berkumpul. Aku sudah mandi, membersihkan diriku dari hal menjijikan. Wajah pria mesum yang memegang tubuhku masih terasa jelas didalam ingatanku.

Aku menangis kembali.

Jungkook memelukku, sementara Taehyung terus memaki sedari tadi karena mengetahui perbuatan Jimin yang mengabaikan diriku.

Aku tidak memperdulikan Jimin, ia sudah menyakitiku dan alangkah lebih baiknya jika aku dan dia tidak bertemu. Bunyi langkah kaki dari pintu utama menandakan ada seseorang yang datang.

Seseorang yang tidak ingin aku lihat. Dari langkahnya saja aku sudah tahu siapa dia.

"Sialan!" Teriakan Taehyung menggema. Aku takut, aku mengeratkan pelukanku pada Jungkook. Aku cengeng sekali, tidak bisa berhenti menangis.

"Berhenti!" Jungkook ikut berteriak namun tidak melepaskan pelukanku.
"Sial! Kalian bisa saling membunuh!"

Aku melepaskan pelukan itu dengan cepat, astaga. "Taehyung!" Teriakku sembari berlari ke arah mereka. "Hentikan! Kau bisa membunuh Jimin! Hentikan, aku mohon!"

Jungkook akhirnya memisahkan keduanya.

Darah menetes dari wajah Jimin. Ia kemudian melihatku, aku mematung.
Saat Jimin melangkah mendekatiku, aku menjauh. Aku tidak ingin ia menyentuhku.

"Jimin?"

Aku mengenal suaranya, Rossie. Ia berdiri didepan pintu utama, memakai hoodie abu-abu yang aku tahu milik Park Jimin karena aku yang memberikan hoodie itu padanya sebagai hadiah delapan bulan kami berpacaran.

Oh, Apakah Jimin tidak bisa meninggalkannya sebentar saja? Air mataku keluar semakin deras, namun kali ini tidak ada isakan terdengar.

"Apakah ia lebih penting dariku, Jimin?" Bahkan suaraku tidak bergetar. Hanya saja aku sulit menelan ludah dan dadaku semakin sakit.

Ini adalah kehancuran yang paling mengerikan yang pernah ada.

"Jiya." Lirih Jimin sembari mendekatiku. Aku tidak lagi menjauh, aku membiarkannya memelukku. Oh, aku suka wangi tubuhnya— namun wangi itu tercampur dengan wangi lain yang lebih feminin dan lembut.

Aku tersenyum samar. Apa yang ia lakukan dibelakangku?

Jimin menciumi kening serta pucuk rambutku. Aku tidak membalas pelukannya. Bagiku pelukan Jimin kali ini seperti duri yang menusukku dengan perlahan.

"Sepertinya.. kita sudah tidak cocok." Lirihku. "Ah —atau memang tidak pernah cocok sejak awal."

Jimin merenggangkan pelukannya, tangan hangatnya kini berada di pipiku, menghapus air mataku dengan jemarinya. "Aku tidak mengerti." Ucapnya. Ia bahkan tidak menanyakan keadaanku, aku yakin Taehyung sudah memberitahunya.

Aku melepaskan pelukannya, menatap nanar padanya. Wajahnya yang lebam dan berdarah disana-sini membuatku ingin mengobatinya, namun itu bukanlah kewajibanku lagi.

Aku memandangi Rossie yang masih berdiri kikuk didepan pintu utama. "Rossie." Ucapku. Aku tersenyum lebar padanya walau air mataku kembali terjatuh. Aku mengangguk meyakinkan diriku sendiri, "Kau bisa memilikinya, aku tidak butuh dirinya lagi." Ucapku pada akhirnya.

Kemudian aku pergi dari sana, menaiki tangga dan masuk ke dalam kamar Jungkook dan memilih menghiraukan panggilan Jimin. Aku kembali menangis seperti orang gila.

"Selamat tinggal." Lirihku. Aku membiarkan pintu kamar Jungkook dipukuli oleh Jimin, aku menutup telingaku, tidak ingin suaranya kembali masuk dan merusak hatiku.

The Journey [M]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang