#20

230 38 4
                                    

happy reading! 💜

•••

Aku melihat Jungkook berdiri menjulang tinggi didepan pintu kamar unitku. Aku mendesis padanya, tidak suka dengan kehadirannya disini.

"Sudah merasa hebat, ya?" Adalah hal pertama yang Jungkook ucapkan. "Menyewa flat yang dekat dengan kampus aku akui kau pintar, tapi.. bekerja di mini market? kau sudah gila?"

Aku tidak suka dengan tatapannya yang mengintimidasiku, aku ingin sekali menangis didepannya dan mengadu padanya seperti biasa. Namun aku menahan itu semua. "Pergilah." Usirku. Aku hendak menutup pintu namun kalah cepat dengan tangan kekar Jungkook yang menghalaunya. Ia masuk dan menutup pintu kamarku.

"Jungkook.." Lirihku ketika ia memelukku dengan erat.

"Jiya.. Jiya.." bisiknya. "Untung kau tidak apa-apa.. aku khawatir sekali.."

Aku membalas pelukannya dan menangis disana, aku butuh pelukannya dan kata penenangnya untukku. Aku menangis seperti tidak ada hari esok untukku. Jungkook dengan sabar mengelusku, memberikan kata penenang untukku, ia mengatakan semua akan baik-baik saja dengan bisikan yang membuatku terus menangis.

Tidak ada yang baik-baik saja.

Semua menjadi kacau.

Aku tidak akan pernah merasa baik-baik saja.

"Aku selalu bersamamu.. kau memiliki aku.." Ungkap Jungkook sembari mengecup pucuk kepalaku.

Setelah selesai dengan acara haru dan tangis menangis, aku keluar dari kamar mandi dengan mata sembab serta ingus yang sudah aku bersihkan. Aku melihat Jungkook memperhatikan setiap sudut kamar ini, ia mengecek satu persatu jendela dan perabotan.

"Duduk saja." Ujarku padanya. "Aku tidak punya minuman untukmu. Hanya air putih dan kau bisa ambil sendiri."

"Tuan rumah yang galak." Ejek Jungkook sembari duduk disebelahku. Keheningan kemudian membuatku merasa canggung padanya, ini aneh.

Keheningan itu terhenti begitu saja ketika Jungkook bertanya padaku, "Apa masalahmu?" Aku tahu ia tidak pandai berbasa-basi.

Aku enggan menjawabnya, hanya menggeleng singkat dan Jungkook yang melihat itu terlihat tidak senang. "Taehyung berada di paris, Jimin sedang pergi.. entah kemana.." lanjutnya kemudian. Sedari awal aku ingin bertanya tentang mereka berdua padanya, namun aku merasa tidak pantas setelah apa yang terjadi belakangan ini.

"Sebenarnya..." Ucapan Jungkook mengantung, membuat aku menatapnya.

"Apa?"

"Em.. aku sudah mengirim lokasimu pada Jimin dan Taehyung.. di grup chat kami.."

"Lalu?"

"Tidak ada balasan dari mereka."

•••

Jungkook sudah pergi karena aku memaksanya, aku mengatakan harus beristirahat karena esok aku mulai bekerja. Tentu saja ia awalnya menolak, ia bersikeras ingin mengajakku untuk tinggal dengannya.

Aku tidak akan menyusahkan Jungkook lagi. Sudah cukup selama ini aku menjadi beban baginya. Kini aku hanya memandang isi kolom chat dari Ibu yang mengatakan permintaan maaf dan ingin aku baik-baik saja dimana pun aku berada.

Jika biasanya aku akan membalas dengan cepat, kali ini aku tidak membalas apapun. Aku masih kecewa pada Ibu.

Sayup-sayup kelopak mataku hendak tertutup namun aku mendengar suara bel kamarku diberbunyi terus-menerus. Aku melirik pada jam dinding. Pukul satu malam dan siapa yang bertamu?

Aku bangun dan dengan waspada melihat pada lubang kecil untuk melihat siapa tamu tidak diundang malam ini. Rambut coklat dengan kaus berwarna putih, aku mengenalnya.

Aku mengatakan untuk tidak membukanya, namun hati kecilku berkata hal lain. Aku membukanya dan langsung bersitatap dengan pemilik mata indah itu.

"Ternyata Jungkook benar." Kerongkonganku begitu sakit karena menahan air mata, aku ingin memeluknya namun tubuhku enggan bergerak.

"Jimin..." Lirihku.

Pria Park itu kemudian tersenyum padaku. "Senang bertemu denganmu, calon saudari tiri? ah.. kita seumuran jadi aku hanya akan memanggilmu Jiya saja."

Aku menggeleng padanya, aku mengerti apa yang ia ucapkan namun aku enggan ingin mengerti. Aku ingin terlihat bodoh dengan tidak tahu apapun yang baru saja ia katakan.

"Tapi.. akan berbeda jika aku yang menikah denganmu 'kan?" Lanjutnya. Air mataku yang sudah lolos begitu saja membuat aku segera menghapusnya cepat.

"Aku tidak ingin berbicara denganmu." Suaraku terdengar bergetar. Aku tidak sanggup memandanginya, aku hanya menunduk dan melihat ujung sepatu yang ia kenakan. "Aku—"

"Dengan begitu kau menerima jika aku menjadi saudara tirimu?" Ada nada ejekan dari suara yang Jimin keluarkan. Aku kembali menggeleng padanya, mengapa ini begitu sulit untuk kami?

"Kau tidak mau? kalau begitu menikah saja denganku.. agar si tua bangka dan.. dan— Ibumu yang sangat cantik itu tidak menghancurkan keluargaku. Walau mereka telah melakukan itu.."

"Maaf.. maafkan aku Jimin.."

Aku terhentak kaget ketika Jimin mendorongku masuk, ia menutup pintu kemudian menciumku. Ciuman yang tidak aku harapkan karena begitu menyakitkan. Dengan sekuat tenaga aku menolaknya, tetapi apa daya tenaga kecilku bahkan tidak mampu mendorongnya menjauh.

Sampai aku berbaring pada kasurku.. dan Jimin berada diatasku, ia tidak peduli dengan aku yang menangis. Baju tidurku telah terlepas dari tubuhku, tergeletak dengan mengenaskan di lantai dingin.

Aku tidak tahu siapa pria yang tengah menghisap payudaraku dengan rakus, ia bukan Jimin yang selama ini aku kenal.

"JIMIN!" Teriakku padanya ketika ia hendak melepaskan celana dalamku yang menjadi satu-satunya pakaian yang tertinggal ditubuhku.

Kemudian kekosongan hadir, Jimin menjauh dan membelakangiku. Ia terlihat marah dan frustasi.

Tanpa melihatku kembali, Jimin pergi meninggalkan kamar flatku dengan bahu yang bergetar. Aku memandang plafon dengan kosong, tidak tahu apa yang aku pikirkan. []

tbc

sangaddd singkat wkwkwk

The Journey [M]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang