01

185 18 0
                                    

Yang lalu membuatnya selalu sadar atas kehadiran rasa sakit. Yang lalu selalu berhasil membuatnya gemetar takut. Yang lalu... sudah cukup!

Biarkan gadis itu berlayar menerpa ombak baru. Biarkan ia menikmati sebuah perjalanan menuju kisah yang masih abu-abu.

Setidaknya ia bisa berharap...

Semoga akhir kisah kali ini tidak sesakit kisahnya yang lalu. Tidak semenakutkan kala itu. Semoga kali ini.. semua berakhir indah.

.   .   .

Patricia Zara Winata atau lebih akrab dikenal sebagai Cia--nama kecil hasil celetukan ayahnya. Seorang gadis bertubuh tinggi semampai dengan rambut pendek sebahu. Kedua iris matanya berwarna cokelat--katanya, ia punya darah Eropa, ya.. walau entah dia keturunan yang ke berapa, tidak ada yang tahu pasti sebab hanya katanya.

Mudah panik adalah sifat dasar yang melekat menjadi jati diri sesungguhnya gadis itu.

Seperti saat ini contohnya.

Ia berlari sekuat tenaga. Semampu yang ia bisa. Pandangannya hanya tertuju pada gerbang sekolahnya yang masih terbuka sedikit--meski sesekali ia sempat melirik jam tangan yang terlilit di tangan kirinya.

"Gak lucu banget kalo gue beneran telat, baru juga sekolah dua kali!"

Ia mencak-mencak sebab rasa kesalnya terus mencuat. Kalau saja mobil Ibu yang menjadi sarana transportasi yang mengantarnya ke sekolah tidak tiba-tiba mogok.. kalau saja ia membawa kartu bus di dompetnya, pasti ceritanya tidak akan seperti ini kan?

Pukul 06.35 pagi. Kalau dilihat-lihat, sebetulnya gadis itu sudah terlambat lima menit. Tapi selama gerbang sekolah masih terbuka meski hanya sedikit, harusnya tidak akan jadi masalah bukan?

Namun sialnya, sosok pria tinggi yang mengenakan seragam petugas keamanan datang, lalu bersiap menutup pintu gerbang. Padahal jarak antara gadis itu dengan pagar besi tersebut tinggal kurang dari dua meter lagi.

"Pak, sebentar!" Seru Cia, mentitah.

Pria itu mendongak, menatap Cia acuh tak acuh selama sedetik sebelum akhirnya mendelik bahu lalu menutup gerbangnya rapat.

"Yah Pak, kok ditutup? Kan saya bilang tunggu!" Cecar gadis itu separuh kesal.

"Kalau gak mau ditutup, datangnya pagi dong! Sudah telat, nawar lagi," balas sang satpam sekolah ketus.

Cia mendengus, "ini terus saya gimana? Masa pulang?"

"Tunggu di sini satu jam pelajaran, setelah itu baru boleh masuk."

"Lama banget?!"

"Kalau gak mau nunggu lama, makanya jangan telat."

Ish, bener-bener nih Pak Satpam! Gadis itu mencecar dalam hati.

"Tunggu di sini sampai jam pertama habis. Jangan kabur, saya tandain kamu!" Titahnya sebelum akhirnya berbalik lalu pergi.

Kedua bahu Cia melemas bersamaan dengan langkah pria itu yang lambat laun mulai menjauh. Ia meruntuki kesialannya pagi ini. Ia juga meruntuki Sang Dewi Fortuna sebab tidak berpihak kepadanya.

Cia bukannya takut tertinggal mata pelajaran matematika peminatan yang kebetulan mengisi jam pertama hari ini--sebenarnya itu juga--tapi ia takut ada guru yang tahu jika ia datang terlambat.

Yang jadi masalah, Cia itu murid pindahan yang baru masuk dua hari lalu. Agak tidak etis dan reputasinya bisa buruk jika guru-guru tahu dirinya telat di hari ketiganya bersekolah di SMA Taruna.

di kala singgah | haechanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang