12

55 9 0
                                    

Sore ini, tak seperti biasanya, Cia membantu Ibu memasak, menyiapkan menu makan malam sederhana untuk keluarga mereka nanti. Meski agak sedikit mengherankan, Cia melakukan itu bukan tanpa alasan. Ada hal yang harus ia obrolkan dengan Ibu. Segera.

"Bu..?" Cia berujar ragu.

"Apa?" Sahut Ibu tanpa menampik pandangannya, fokus mengiris daging.

"Ngurusin pindahan sekolah Cia waktu itu ribet gak sih?"

"Ribet banget!" Jawab Ibu cepat. "Harus nyari sekolah terdekat yang masih ada bangku kosong, ngurus berkas-berkas perizinan keterangan pindah sekolah. Kamu juga sempet ada tes kan? Apalagi Ayah sama Ibu lagi sama-sama sibuk waktu itu."

Cia menghela napasnya samar. Setelah selesai memotong sayuran--tepat diwaktu yang bersamaan dengan kalimat terakhir Ibu berakhir--Cia menopang tubuhnya di atas meja pantry.

"Kenapa Cia gak pindah ke Surabaya aja sekalian?"

"Siapa yang ngurus kalo kamu pindah ke Surabaya? Mau tinggal di mana?"

"Rumah Nenek," jawabnya enteng.

Ibu berhenti melakukan aktivitasnya. Ia menoleh pada putrinya lalu berujar, "kamu itu masih suka ngerepotin orang, belum bisa benar-benar mandiri. Yang ada kamu nyusahin Nenek sama Tante Vivi di sana."

Benar juga.

"Ibu sama Ayah gak bisa sembarang pindah dadakan, apalagi kalau harus keluar kota. Ayah lagi dalam masa promosi jabatan, usaha Ibu juga lagi lumayan naik. Bukan bermaksud egois karena lebih mengutamakan pekerjaan, cuma Ibu pikir, ini keputusan terbaik buat semuanya. Ibu sama Ayah gak perlu khawatirin kamu karena masih bisa selalu pantau kamu sepanjang saat, kecuali kalau kamu lagi di sekolah."

"Lagipula, kamu baik-baik aja kan? Gak ada lagi masalah semenjak pindah ke sekolah yang baru?" Timpal Ibu lagi.

Cia diam, tidak berniat untuk menjawab. Gadis itu memilih untuk mengalihkan arah pandangnya--menghindar. Ia justru berjalan menuju lemari es, random mengambil sebuah apel lalu memakannya.

Padahal niat awalnya menyinggung persoalan ini sebab ingin meminta pindah sekolah ke Surabaya. Pergi jauh sekalian agar bisa benar-benar mengubur semua kenangan masa lalunya yang kelam. Tapi, seluruh perkataan Ibu--tentang betapa rumit dan memakan waktu mengurus pindah sekolah, urusan pekerjaan Ayah dan Ibu yang tidak bisa direlakan, dan dirinya yang masih jadi sosok merepotkan--Cia urung atas niatannya.

"Ngapain malah makan apel? Jawab dulu, semuanya baik-baik aja kan?"

Cia berdehem disela-sela waktu mengunyahnya. "Iyaa," jawabnya tanpa minat.

Ia tidak berbohong sebab sejauh ini semuanya memang baik-baik saja. Tidak ada hal buruk--atau bahkan hal yang lebih gila lagi--yang terjadi sejauh ini. Dan semoga... memang tidak akan pernah ada.

Lo kuat Cia! Lo bisa bertahan sejauh ini, lo itu hebat! Tunggu, sabar sedikit lagi. Pasti akhirnya bakal indah. Lo harus percaya itu. Gumam batinnya, menyemangati dirinya sendiri.

~🌷~

Jarum pada jam dinding telah menunjuk tepat pada pukul tujuh. Sejak selesai makan malam, Cia langsung kembali ke kamarnya untuk duduk di kursi belajarnya. Belum ada yang berubah, gadis itu masih sibuk mengerjakan tugas sejarah yang akan dikumpul esok hari, merangkung materi tentang Revolusi Inggris dan Revolusi Prancis di dalam buku catatannya, dan itu banyak sekali--terlebih harus ditulis tangan.

Sejak pulang sekolah tadi Cia sudah berniat untuk mulai mengerjakannya agar tidak keteteran, namun ia malah sibuk menonton video-video youtube sampai akhirnya lupa. Pantas saja sejak tadi ia merasa tidak tenang, merasa ada hal yang terlewat olehnya, ternyata memang benar.

di kala singgah | haechanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang